Langsung ke konten utama

MAKALAH KONSELING LINTAS AGAMA





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di era globalisasi saat ini keragaman budaya menjadi keniscayaan dan menjadi topik yang dihadapi dunia saat ini. Sebenarnya kesadaran tentang peran budaya pada perilaku manusia memang agak terlambat disadari, seiring dengan semakin mengecilnya dunia karena adanya perkembangan teknologi informasi, kemungkinan bertemu orang-orang dari berbagai penjuru dunia semakin besar. [1]
Akibatnya adalah benturan budaya menjadi tak terelakkan dan semakin mengemuka menuntut perhatian para sarjana psikologi dan konseling untuk melakukan berbagai riset berkaitan dengan cross-culutural psychology. Sebuah persoalan yang tidak saja berkenaan dengan menuntut pemecahan persoalan lintas budaya, akan tetapi lebih pada pemahaman dan kesadaran  keragaman budaya yang membawa pada kemampuan beradaptasi, menerima perbedaan, membangun relationship yang luas, dan mengatasi konflik yang berakar dari perbedaan budaya. [2]
Disamping itu, tantangan tersebut sesungguhnya juga memberikan kesempatan bagi individu-individu untuk mengaktualisasikan potensi dan keunikan masing-masing. Untuk dapat kesempatan mengaktualisasikan diri tentunya dibutuhkan keberanian dan kejujuran untuk dapat melihat diri dan budaya sendiri sekaligus keberanian untuk membuka diri. [3]


B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah unsur-unsur Konseling Lintas Agama dan Budaya?
2.      Asas-asas apa sajakah yang ada dalam Konseling Lintas Agama dan Budaya?
3.      Seperti apakah manusia sebagai Makhluk Budaya?

C.     Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam Konseling Lintas Agama dan Budaya.
2.      Agar mengetahui asas-asas yang ada dalam Konseling Lintas Agama dan Budaya.
3.      Supaya mengetahui ciri-ciri manusia sebagai Makhluk Budaya.




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Unsur-Unsur Konseling Lintas Agama dan Budaya
Unsur-Unsur KLAB:
a.       Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.
b.      Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsur-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
c.       Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur budaya tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses konseling.
Konsep Dasar KLAB:
a.       Dalam konseling lintas agama, pengutamaan nilai adalah pada nilai moral dan spiritual keagamaan dan cara-cara bantuan yang khas keagamaan, sesuai dengan agama-agama yang bersangkutan.
b.      Dalam konseling lintas budaya, harus mengacu pada budaya yang berkembang  pada lingkungan klien, dengan pertimbangan akal sehat, msitik, supranatural, yang bersifat turun-temurun dan tradisional.[4]
2.      Asas Bimbingan dan Konseling
Dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling saling terdapat kaidah-kaidah yang harus diterapkan dan dapat menjamin efisiensi dan efektifitas proses dan hasil-hasinya. Kaidah-kaidah tersebut dikenal dengan asas-asas. Apabila asas-asas tersebut diikuti dan diselenggarakan dengan baik dan diharapkan proses pelayanan mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan.
Dengan kata lain, keterlaksaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkan asas-asas sebagai berikut:
a.      Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasikannya segenap data dan keterangan tentang klien  yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaannya bener-benar terjamin.
b.      Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan  kerelaan klien mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dmengembangkan kesukarelaan tersebut.
c.       Asas keterbukaan, yaitu  asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar klien yang menjadi sasaran pelayan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak bersifat pura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan klien. Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri klien yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar klien dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
d.      Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar klien yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong klien untuk aktif dalam setiap pelayaan /kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukkan baginya.
e.       Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: klien sebagai sasaran pelayan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungan, maupun mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelanyanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
f.       Asas kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menhendaki agar obyek sasaran pelanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan klien dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan”masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
g.      Asas Kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terdapat sasaran pelayanan klien yang sama kehendaknya selalu bergrerak maju, tidak menonton dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahab perkembangannya dari waktu ke waktu.
h.      Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelanggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu terus dilaksakan dengan sebaik-baiknya.
i.        Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu penegtahuan dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan klien memahami, menghayati dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
j.        Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
k.      Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan klien mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.[5]
3.      Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Hal (kebudayaan) tersebut tampak dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk perilaku tertentu, sikap, olah fikir, rasa, karsa, dan budi. Pada saat Tuhan ciptakan manusia dengan kelengkapan akal pikiran dan hati nurani, maka saat itu juga manusia telah menjadi makhluk budaya.
Manusia sebagai makhluk berbudaya
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu organisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejahteraan. Tatkala seorang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, oleh karena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan.  Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan. Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri.
Manusia dibentuk dalam budaya dan lingkungannya masing-masing. Untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan industrialisasi serta akhlak yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling bersinergi. [6]





BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan

Unsur-Unsur KLAB adalah Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya. Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsur-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani. Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur budaya tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses konseling.
Konsep Dasar KLAB yaitu: Dalam konseling lintas agama, pengutamaan nilai adalah pada nilai moral dan spiritual keagamaan dan cara-cara bantuan yang khas keagamaan, sesuai dengan agama-agama yang bersangkutan. Dalam konseling lintas budaya, harus mengacu pada budaya yang berkembang  pada lingkungan klien, dengan pertimbangan akal sehat, msitik, supranatural, yang bersifat turun-temurun dan tradisional.[7]
Asas Bimbingan dan Konseling yaitu: Asas Kerahasiaan, Asas kesukarelaan, Asas keterbukaan, Asas kegiatan, Asas kemandirian, Asas kekinian, Asas Kemandirian, Asas Keterpaduan, Asas Keharmonisan, Asas Keahlian, Asas Alih Tangan Kasus.
Manusia adalah makhluk budaya. Hal (kebudayaan) tersebut tampak dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk perilaku tertentu, sikap, olah fikir, rasa, karsa, dan budi. Pada saat Tuhan ciptakan manusia dengan kelengkapan akal pikiran dan hati nurani, maka saat itu juga manusia telah menjadi makhluk budaya.
Manusia dibentuk dalam budaya dan lingkungannya masing-masing. Untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan industrialisasi serta akhlak yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling bersinergi. [8]

2.      Saran



















DAFTAR PUSTAKA


Dikutip dari Tugas Akhir Didi Mariono, Konseling Lintas Budaya dalam Perspektif Konseling Islam, 2009

Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya (Malang: UMM Press, 2004)

https://irsyadbki.wordpress.com/  pada 24 Februari 2016, pukul 11.50 WIB
Deni Febrini,S.Ag.,M.Pd., Bimbingan & Konseling (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 43-47)



[1]Dikutip dari Tugas Akhir Didi Mariono, Konseling Lintas Budaya dalam Perspektif Konseling Islam, 2009, hlm 3.
[2]Ibid
[3]Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya (Malang: UMM Press, 2004) hlm. 359.
[4]https://irsyadbki.wordpress.com/  pada 24 Februari 2016, pukul 11.50 WIB


[5] Deni Febrini,S.Ag.,M.Pd., Bimbingan & Konseling (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 43-47)
[6] https://irsyadbki.wordpress.com/  pada 24 Februari 2016, pukul 11.51 WIB

[7]https://irsyadbki.wordpress.com/  pada 24 Februari 2016, pukul 11.50 WIB


[8] https://irsyadbki.wordpress.com/  pada 24 Februari 2016, pukul 11.51 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Motivasi Berprestasi

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mangandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. [1] McClelland [2] menekankan pentingnya kebutuhan berprestasi, karena orang yang berhasil dalam bisnis dan industri adalah orang yang berhasil menyelesaikan segala sesuatu. Ia menandai tiga motivasi utama, yaitu: penggabungan, kekuatan dan prestasi. Motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau kebutuhan dalam diri seseorang untuk mencapai hasil terbaik. Motivasi berprestasi juga dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk menguasai hal-hal yang ...

MAKALAH PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TEORI JULIAN ROTTER

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Teori belajar kognitif sosial dari Julian Rotter dan Walter Mischel, masing-masing berlandaskan asumsi bahwa faktor kognitif membantu membentuk bagaimana manusia akan bereaksi terhadap dorongan dari lingkungannya. Kedua pakar teori tersebut menolak penjelasan Skinner yang menyatakan bahwa perilaku terbentuk oleh penguatan langsung, malah mereka menyebutkan bahwa ekspektasi seseorang atas kejadian yang akan datang adalah determinan utama dari perilaku. Rotter beragumen bahwa perilaku manusia paling dapat diprediksikan melalui pemahaman dari interaksi antara manusia dan lingkungan yang berarti untuk mereka. Sebagai interaksionis, Rotter yakin bahwa tidak ada satu pun individu ataupun lingkungan itu sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab atas perilaku. Malah, ia beragumen bahwa kondisi manusia, sejarah masa lalu dan ekspektasi terhadap masa depan adalah kunci utama untuk memprekdisikan perilaku. Dalam hal ini, ia ber...

MAKALAH KEPRIBADIAN DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tigapengertian. Pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa ( psyche ), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesa...