BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak pertengahan abad XIX, yang
didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat,
terdapat banyak pengertian mengenai
“psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian
memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut
oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat
disederhanakan dalam tigapengertian. Pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan
Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses
mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan
tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi,
kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga,
psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku
kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya.
Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh JohnWatson.
Pengertian pertama lebih bernuansa
filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Psikolog di sini berperan untuk
merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan atas pendekatan
spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat
psikologi yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang
menjadi objek utama kajian psikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini
belum mampu membedakan antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan
psikologi yang bersifat empiris. Psikologi seakan-akan masih menjadi bagian
dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas hakekat jiwa. Pengertian
kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga
fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan,
dan ingatan. Namun
pemisahan ini belum
sempurna, sehingga antara
disiplin filsafat dengan psikologi masih berbaur. Pengertian psikologi yang
lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporer adalah pengertian ketiga,
karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu
yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini,
fokus kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala- gejala jiwa
yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk
hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat
diketahui, sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi,
dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya dari kalangan
Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa.
Mereka bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang.
Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada
jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.[1]
Barat dalam memberi gambaran tentang
gejala kejiwaan cenderung melakukan penelitian terhadap manusia dan juga
binatang, karena dalam pandangan Barat, manusia tak jauh berbeda dengan manusia
yang sama-sama memiliki kebutuhan (baik kebutuhan jasmani maupun naluri) serta
keinginan untuk memenuhinya. Hal ini kemudian dibantah oleh salah seorang pakar
psikologi Islam Dr. Abdul Mujib dalam bukunya Kepribadian Dalam Psikologi Islam yang mengungkapkan bahwa,
perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori kepribadian
Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realita. Perilaku
yang sesuai dengan
perintah agama seharusnya
dinilai baik, dan
apa yang
dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama
memang menghormati tradisi (perilaku yang ma‟ruf),
tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).[2]
Hal di ataslah yang kemudian
melahirkan sebuah pemikiran yang cemerlang
bahwa dalam mempelajari gejala kejiwaan yang dialami oleh manusia
khususnya umat Islam maka tak cukup hanya dengan semata mengambil pandangan
dari tokoh psikologi Barat, karena dasar dari pemikiran yang melahirkan sebuah
pemahaman dan keilmuan antara Barat dengan kaum muslimin adalah berbeda. Jika
Barat hanya sekedar mengkaji gejala kejiwaan manusia pada aspek-aspek yang nampak
dari tingkah laku manusia saja, maka Islam tak terbatas pada itu saja, karena
dalam pandangan Islam manusia hidup di dunia ini tak semata perbuatannya itu
lahir apa yang diinginkan oleh manusia itu sendiri melainkan ada
kejadian-kejadian yang dialami manusia di mana manusia tidak punya kuasa untuk menolak
(baik itu mau menerima ataupun menolak). Hal ini disebut oleh Syaikh Taqiyuddin
An-Nabhani dengan istilah Lingkaran Yang
Menguasai Manusia.[3] Dalam konteks
ini beliau menjelaskan bahwa perbuatan manusia ada yang terjadi karena sudah
menjadi ketetapan Sang Pencipta (Allah SWT) di mana manusia harus menerima itu
sebagai sebuahSunnatullah.[4]
Pada dasarnya, konsep pengamatan
tentang kejiwaan bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam, karena telah banyak ilmuan-ilmuan
Islam yang memberikan pandangannya tentang
konsep kejiwaan, seperti Imam al-Ghazali yang berbicara tentang An-Nafs, Taqiyuddin yang membahas
tentang Af‟al Al-Insan dan lain
sebagainya. Sehingga sejatinya kaum muslimin sudah selayaknya berbicara tentang
psikologi dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran dari kalangan ilmuan Islam,
bukan terfokus pada pemikiran psikologiBarat. Namun nampaknya,
berbicara tentang hal ini tak sesederhana di atas, karena faktor yang
menjadikan psikologi Islam belum diakui oleh dunia Internasional sebagai sebuah
disiplin ilmu pengetahuan tak hanya karena ilmuan kaum muslimin yang tak
menjadikan Islam sebagai acuan keilmuannya, melainkan ada faktor eksternal yang memicu hal itu terjadi.
Dan faktor tersebut adalah karena tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah
Ideologi, bahkan kini Ideologi yang menaungi dunia termasuk dunia Islam adalah
Ideologi Kapitalisme yang bersumber dari Barat. Hal inilah yang menjadikan
Barat sebagai kiblat bagi seluruh dunia dalam segala lini kehidupan. Salah
satunya adalah di bidang pendidikan dan keilmuan. Faktor inilah yang
menyebabkan Islam kini tidak lagi dipandang sebagai sebuah Agama yang juga
memiliki konsep keilmuan yang bisa digunakan dalam kanca pendidikan dan
keilmuan. Sehingga, untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari keilmuan yang
diakui maka faktor ekternal ini pun
harus dirubah agar tidak melahirkan hegemoni
yang mendiskreditkan Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah Islam telah membahas masalah Kepribadian?
2.
Bagaimana pandangan Islam tentang Kepribadian?
3.
Bagaimana pula pandangan Islam tentang Tingkah Laku Manusia?
4.
Layakkah Psikologi Kepribadian Islam dijadikan sebagai bagian
dari cabang ilmu psikologi?
5.
Faktor-faktor yang meyebabkan Psikologi Kepribadian Islam
belum dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang diakui oleh
duniaInternasional?
C.
Tujuan Penulisan
a.
Untuk mengetahui apakah Islam telah membahas masalah Kepribadian.
b.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang Kepribadian.
c.
Untuk mengetahui pandangan Islam tentang Tingkah Laku Manusia.
d.
Untuk mengetahui layakkah Psikologi Kepribadian Islam
dijadikan sebagai bagian dari cabang ilmu psikologi.
e.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang meyebabkan
Psikologi Kepribadian Islam belum dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan
yang diakui oleh duniaInternasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam Telah
Membahas tenntang Kepribadian
Konsep atau teori kepribadian Islam
harus segera tampil untuk menjadi acuan normatif bagi umat Islam. Perilaku umat
Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori kepribadian Barat yang
sekuler, karena keduanya memiliki frame yang
berbeda dalam melihat realita. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama
seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai
buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma‟ruf), tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).[5] Para psikolog
dalam melakukan interpretasi test-test psikologi terhadap klien terkadang
memerankan diri sebagai Tuhan (play God),
melalui alat yang disebut dengan instrumen atau alat test tertentu, padahal ia
hanya tahu kulit luarnya saja. Ironisnya, hal itu menjadi acuan untuk
diterima-tidaknya seseorang menjadi pegawai atau jabatan tertentu. Bagi calon
pegawai yang mengerti tentang kiat-kiat sukses dalam test kepribadian, ia akan
belajar terlebih dahulu bagaimana caranya agar ia mendapat nilai baik, karena
alat testnya diulang-ulang (itu-itu saja). Test kepribadian dalam konteks ini
tidak akan mampu menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya.
Untuk diakui sebagai disiplin ilmu,
membangun teori kepribadian berbasis Psikologi Islam akan menghadapi problem
metodologis yang rumit. Hal itu terjadi sebab Psikologi Kepribadian Islam
berada di dua persimpangan jalan yang harus dilalui. Persimpangan pertama harus
melalui prinsip-prinsip ilmiah psikologi modern, sementara persimpangan kedua
harus melalui nilai-nilai doktriner dalam Islam. Pada aspek tertentu kedua
persimpangan itu mudah dilalui secara simultan, namun pada aspek yang lain
justru bertabrakan yang salah satunya tidak mau dikalahkan. Betapapun
sulit dan bahkan akan mengalami proses pendangkalan dan klaim tergesah- gesah,
upaya membangun Psikologi Kepribadian Islam tidak dapat ditundah-tunda lagi.
Fenomena perilaku yang menimpah umat Islam akhir-akhir ini tidak mungkin dapat
dianalisis dengan teori-teori Psikologi Kepribadian Barat. Perilaku radikalisme
beragama, bom bunuh diri yang populer dengan sebutan bom syahid, maraknya
jamaah zikir dan muhasabah, senyumnya Amrozi saat divonis mati adalah sederetan
perilaku yang unik dan membutuhkan analisis khusus dari teori-teori Psikologi
Kepribadian Islam. Boleh jadi dalam teori Psikologi Kepribadian Barat perilaku
tersebut merupakan patologis, sementara dalam Psikologi Kepribadian Islam
diyakini sebagai perilaku yang mencerminkan aktualisasi diri atau realisasi
diri.
Menghadirkan disiplin kepribadian
Islam tidaklah mudah, sebab hal itu mengundang banyak pertanyaan. Klaim
ketidakilmiahan dan kerancuan metodologis menjadi senjata penyerangan bagi
mereka yang antipati terhadap kehadiran disiplin yang berbasis agama. Bukankah
psikologi kepribadian selama ini hanyalah hasil adopsi dari teori-teori Barat?
Apakah hal itu tidak menjadikan bias budaya? Mungkinkah teori yang dihasilkan
dari penelitian atau eksperimen budaya Barat, bahkan ‟budaya‟ binatang (karena
eksperimennya menggunakan binatang), dijadikan pisau analisis dalam melihat
perilaku umat Islam? Uichol Kim, seorang psikolog asal Korea, mengkritisi psikologi Barat
yang menyamaratakan pandangan psikologinya sebagai human universal dengan menawarkan konsep psikologi pribumi (the indigenous psychology). Menurut Kim,
yang dikutip Achmad Mubarok, manusia tidak cukup dipahami dengan teori
psikologi Barat, karena psikologi Barat hanya tepat untuk mengkaji manusia
Barat sesuai dengan kultur sekulernya yang melatarbelakangi lahirnya ilmu itu.
Untuk memahami manusia di belahan bumi lain harus digunakan pula basis kultur
dimana manusia itu hidup.
Ketika
psikologi Islam menghadirkan konsep kepribadian, masalah pertama yang perlu
dipahami terlebih dahulu adalah terminologi apakah menggunakan istilah
kepribadian Islam (al- syakhshiyyah
al-Islamiyyah) atau kepribadian muslim (syakhshiyyat
al-muslim):
Pertama, Kepribadian Islam memiliki arti
serangkaian perilaku manusia, baik sebagai mahluk individu maupun mahluk
sosial, yang normanya diturunkan dari ajaran Islam, yang bersumber dari
al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dari kedua sumber tersebut, para pakar berusaha
berijtihad untuk mengungkap bentuk-bentuk kepribadian menurut ajaran Islam,
agar bentuk- bentuk itu diterapkan oleh pemeluknya. Rumusan kepribadian Islam
di sini bersifat deduktif. sesuatu yang kemudian melahirkan sebuah pemahaman yang akan
mempengaruhi segala pendapat-pendapat yang dianggapnya sesuai dengan pola
pikirnya. Sehingga apabila seseorang mengeluarkan pendapat yang didasarkan pada
Akidah Islam maka pola pikirnya bisa disebut sebagai „Aqliyah Islamiyah (pola pikir yang Islami). Jika pendapatnya itu
didasarkan pada selain dari Aqidah Islam maka pola pikirnya disebut „Aqliyah ghaira Islamiyah (pola pikir
selain Islam).
Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang digunakan seseorang untuk
memenuhi tuntutan gharizah (naluri)
dan hajat al-„adhawiyah (kebutuhan
jasmani); yakni upaya untuk memenuhi tuntutan berdasarkan kaidah yang diimani
dan diyakininya. Atau dengan kata lain, nafsiyah
yaitu bentuk tingkah laku seseorang yang dilakukan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya berdasarkan apada apa yang diyakininya atau yang dipahaminya. Jika
pemenuhan terhadap kebutuhannya itu berdasarkan Akidah Islam, maka pola
sikapnya dinamakan nafsiyah Islamiyah (pola
sikap Islami), sebaliknya jika pola sikapnya tidak didasarkan pada Islam maka
pola sikapnya disebut pola sikap yang tidak Islami (nafsiyah ghaira Islamiyah). Dalam konteks ini,
disebut apa jenis kepribadian seseorang tergantung pada pembentukan „aqliyah dan nafsiyah yang dimilikinya. Pembentukan
kepribadian seseorang sangat bergantung pada mafahim (pemahaman) yang dimilikinya akan sesuatu.[6]
Atau dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa
pembentukan pola pikir serta pola sikap seseorang sangat tergantung pada
pemahaman yang dimilikinya sehingga akan melahirkan sebuah persepsi terhadap
sesuatu yang akan mempengaruhi gejolak kejiwaannya. Seseorang akan memenuhi
kebutuhan jasmaninya dengan melakukan aktifitas atau perbuatan seperti makan,
dan dia akan makan berdasarkan makanan apa
yang ia pahami dan
ia pikirkan dalam
pemikirannya. Manakala ia
memahami bahwa Islam mengharuskan memakan makanan yang halal, maka ia akan
mencari makanan yang halal untuk dimakannya, sebaliknya, manakala pemahamannya
hanya sebatas pemenuhan kebutuhan jasmani semata, maka ia akan makan apa saja
yang ia kehendaki berdasarkan dorongan instiknya tanpa bersandar pada sebuah
pemahaman yang membuatnya terikat pada suatu aturan yang jelas dan baku.
Seseorang bisa dikatakan berkepribadian
Islam jika menjadikan Aqidah Islam sebagai asas
dalam membentuk „aqliyah dan
nafsiyah-nya.[7] Artinya bahwa,
seseorang haruslah menyesuaikan
pola pikir dan pola sikapnya pada apa yang diimani dan menjalankannya sesuai
dengan ketentuan yang diimani tersebut. Dan Islam sebagai asas dalam aqidah Islam harus dijadikan dasar dalam
membentuk pola pikir yang mempengaruhi pola sikapnya agar bisa disebut memiliki kepribadian Islam. Sebuah
kepribadian dapat dikatakan sempurna apabila antara pola pikir dan pola sikap
berjalan seiringan, yakni pemikiran seseorang haruslah sesuai dengan
perbuatannya, demikian pula sebaliknya, perbuatan atau tingkah laku seseorang
haruslah sejalan dengan apa yang dipahami oleh pemikirannya. Seperti, jika
seseorang memahami bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, maka ia tidak boleh
melakukan perbuatan yang membuatnya menyekutukan Allah sebagai satu-satunya
Tuhan yang ia yakini. Apabila pola pikir tidak sejalan dengan pola sikap, atau
berbeda antara yang dipahami dengan yang dilakukan maka orang tersebut
dipandang tidak memiliki kepribadian yang Islami. Hal inilah yang menjadikan
konsep kepribadian Islam unik sehingga berbeda dengan kepribadian yang selama
ini dipahami dan dikembangkan oleh dunia Barat.
Hal ini telah menjadi bukti bahwa Islam
telah memiliki konsep psikologi dalam hal kepribadian sehingga kepribadian
Islam pun layak dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu dalam dunia ilmu
pengetahuan dan pendidikan karena konsep pemikirannya telah sesuai dengan
pembentukan tingkah laku seseorang yang dikaitkan dengan agama yang
diyakininya, khususnya bagi kalangan kaum muslimin. Perbedaan antara pola
keribadian Islam yang terikat dengan aturan Islam inilah yang menjadikan
kepribadian Islam berbeda dengan psikologi Barat yang hanya mengarah pada aspek
kebutuhan manusia serta pemenuhannya yang didasarkan pada dorongan instink, id,
ego dan superego semata. Hal ini pula yang menjadikan kepribadian Islam
memiliki konsep akan perbuatan manusia, bahwa tidak semua yang terjadi pada
manusia itu muncul karena sifat naluriah atau naturalisasi, melainkan ada
kejadian-kejadian di mana bukan
manusia yang menghendaki itu terjadi bahkan manusia tak kuasa untuk menolaknya,
seperti kelahiran, fitrah wanita yang berbeda dengan pria, kematian, musibah
dan lain sebagainya yang akan dibahas pada poinberikutnya.
B. Pandangan Islam tentang Perilaku Manusia
Tingkah laku manusia dalam pandangan
psikologi Barat merupakan respon dari stimulus yang ia dapatkan di luar dari
dirinya. Misalnya, seseorang akan meraih suatu benda dengan respon mengulurkan
tangannya jika ada stimulus yang membuatnya berbuat itu, dan stimulus itu
adalah adanya orang lain yang mengarahkan benda tersebut kepada dirinya. Lebih jauh,
menurut pandangan ini, manusia akan memenuhi kebutuhannya berdasarkan dorongan
instinknya semata, sehingga manakala seseorang mengalami kematian karena
kelaparan maka itu naturalisme dari ketidakpatuhannya akan dorongan instink.
Barat dalam mengemukakan pendapatnya serta dalam memperkenalkan pendapatnya
selalu didasari pada pembuktian secara empiris bahwa pendapatnya itu telah
terbukti kebenarannya. Namun disayangkan, Barat dalam mempelajari tentang
tingkah laku hanya mengamati apa yang nampak dari luar manusia itu semata,
bahkan menyamakan hasil psikologinya antara kejiwaan manusia denganbinatang.
Meski diakui bahwa manusia memang memiliki
kesamaan dengan hewan dalam hal sama-sama memiliki naluri dan kebutuhan jasmani
serta adanya upaya untuk memenuhinya, namun yang membedakan dari keduanya
adalah dalam aspek upaya pemenuhannya tersebut. Jika hewan memenuhi
kebutuhannya sebatas dorongan instink semata, maka berbeda dengan manusia, manusia dalam memenuhi naluri dan
kebutuhan jasmaninya tidak semata karena
adanya dorongan instink yang melahirkan perbuatan sesuai dengan
instinknya, melainkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya haruslah terikat
dengan aturan-aturan agama yang mengatur perbuatannya. Hal ini disebabkan
karena manusia diberi keunggulan dengan anugerah akal yang dimilikinya yang
tidak dimiliki oleh hewan. Lebih lanjut aspek ini akan dibahas pada
pembahasanberikutnya.
Dalam Islam, ada beberapa hal yang akan dikemukakan saat membahas tentang perbuatan manusia dalam kehidupannya. Hal ini
disebabkan karena perbuatan yang lahir dari manusia akan menunjukkan keluhuran
manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna sekaligus mematahkan pendapat
ilmuan Barat yang menyatakan bahwa manusia itu sama bahkan berasal dari hewan
(baca, teori Darwin).
Dalam Al-Quran, Allah SWT brfirman:
Artinya:
Katakanlah; “Tidak ada bahaya yang akan
menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atas kami…” (QS. At-Taubah [9]: 51)
Di ayat lain,
Allah pun berfirman:
Artinya:
Tidak tersembunyi sebesar zarrah (atom)
pun yang ada di ruang angkasa dan bumi. Tidak ada yang lebih kecil dari itu dan
tidak pula yang lebih besar melainkan semuanya sudah ada dalam Kitab yang jelas
(pada ilmu Allah). (QS. Saba‟ [34]:
3)
Ayat-ayat di atas, juga ayat-ayat yang
semisalnya sering dipakai oleh kebanyakan orang (ahli kalam) pada saat membahas
perbuatan manusia untuk dijadikan dalil seolah-olah manusia “dipaksa” untuk
melakukan perbuatannya. Dan bahwasanya semua perbuatan itu dilakukan karena “dipaksa”
oleh adanya Iradah (kehendak).
Dikesankan pula bahwa Allah telah menciptakan manusia sekaligus perbuatannya.
Mereka berusaha menguatkan pendapat mereka dengan dalil:
Artinya: Padahal Allah yang menciptakanmu termasuk
apa yang kamu kerjakan. (QS. Ash-
Shaffaat [37]: 96)
Terdapat beberapa kalangan ilmu Kalam yang
membahas tentang perbuatan manusia, di antaranya: dari kalangan Ahli Sunnah memiliki pendapat bahwa
manusia itu memiliki apa yang disebut kasb
ikhtiari di dalam perbuatan-perbuatannya (tatkala manusia hendak berbuat
sesuatu maka Allah menentukan/menciptakan amal perbuatan tersebut), sehingga
manusia akan dihisab (dimintai pertanggungjawaban) atas perbuatannya tersebut.
Kalangan Mu‟tazilah berpendapat bahwa
manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya dan manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut karena ia sendirilah yang
menciptakan/menghendaki perbuatannya itu. Sedangkan kalangan Jabariyah berpendapat bahwa Allah
menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia “dipaksa” melakukan perbuatannya dan
tidak bebas memilih, ibarat bulu yang terbang sesuai dengan arah angin
menerbangkannya.[8]
Ketika mengamati tentang hakekat perbuatan
manusia maka akan kita jumpai bahwa manusia itu hidup di dalam dua area, yakni area yang dikuasai oleh manusia dan
area yang menguasai manusia. Arean pertama, yakni area yang dikuasai oleh
manusia merupakan area yang berada di
bawah kekuasaan manusia di mana semua perbuatan yang terjadi pada dirinya
ditentukan berdasarkan pilihannya sendiri. Dalam area ini manusia bebas untuk
memilih apakah akan melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, seperti
keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya (makan) apakah memakan
makanan yang halal (sesuai dengan perintah Allah) ataukah yang haram (yang
bertentangan dengan perintah Allah) ini berada pada kekuasaan dan kebebasan
manusia untuk memilih. Dalam inilah maka dikatakan bahwa manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di hari kiamat kelak karena dialah yang
menentukan perbuatannya sendiri dan tidak berkaitan denganSunnatullah.
Adapun area yang kedua, yakni area yang
menguasai manusia merupakan area di mana kejadian yang terjadi terhadap diri
manusia adalah di luar dari pilihan manusia itu sendiri, tanpa memiliki andil
sedikitpun untuk memilih atau meninggalkannya, baik itu kejadian yang berasal
dari dirinya sendiri ataukah yang menimpa dirinya. Kejadian-kejadian pada
area ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama,
kejadian yang ditentukan oleh nidzamul
wujud (Sunnatullah).[9] Dalam hal ini,
manusia dipaksa untuk tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai ketentuan
Sunnatullah, sebab ada kejadian di
mana manusia harus menjalaninya
sesuai dengan mekanisme
tententu yang tidak
kuasa untuk dilanggarnya.
Misalnya, manusia datang (lahir) dan meninggalkan (mati) dunia ini tanpa sesuai
dengan kemauannya. Ia tidak dapat terbang ke udara, berjalan di atas air, tidak
dapat menciptakan sendiri warna biji
matanya, bentuk kepala dan tubuhnya, dan lain sebagainya. Akan tetapi Allah SWT
lah yang menciptakan semua itu tanpa ada pengaruh atau tanpa ada hubungannya
sedikitpun dengan hamba (makhluk)-Nya. Inilah ketetapan yang tak kuasa manusia
untuk melanggarnya, menolaknya bahkan mengubahnya. Sehingga atas
kejadian-kejadian yang telah ditetapkan oleh Sunnatullah ini manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban,
karena di luar darikekuasaannya.
Kedua, yakni kejadian yang tidak ditentukan oleh Sunnatullah namun berada di luar kekuasaan manusia, yaitu perbuatan
yang berasal dari manusia atau yang menimpanya
yang sama sekali tidak mampu untuk ditolaknya.[10]
Misalnya, seseorang yang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga mati, atau orang yang menembak
burung tetapi tidak sengaja mengenai orang lain hingga mati. Menembak burung
kemudian tembakan itu menimpa orang lain
hingga mati bukanlah sebuah Sunnatullah.
Artinya, saat menembak buruk tidak akan
selalu tertimpa kepada orang lain kemudian menyebabkan orang tersebut
meninggal. Ini adalah kejadian yang tidak disangka oleh manusia, sehingga
manusia juga tidak kuasa untuk menolak kejadian ini karena terjadi di luar
kekuasaannya meski tidak terikat dengan Sunnatullah.
Dalam kejadian ini maka manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban karena
kejadian yang menimpa dirinya bukanlah sesuai dengan kehendaknya, dan ia tidak
kuasa untukmenolaknya.
Dalam perbuatannya manusia melakukannya
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai fitrah atasnya, yakni gharizah (naluri) dan hajatul „adhawiyah (kebutuhan jasmani). Dalam gharizah nau‟ (naluri melestarikan keturunan) telah diciptakan
khasiat dorongan seksual, sedang pada hajatul„ adhawiyah diciptakan khasiat seperti rasa lapar, hausdan sebagainya. Semua khasiat ini dijadikan oleh Allah bersifat
baku sesuai dengan Sunnatul Wujud (peraturan
alam yang ditetapkanAllah).[11] Khasiat-khasiat
yang telah ditetapkan atas manusia di atas memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan oleh manusia dalam bentuk
amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah dan akan menjadi amal
kejahatan apabila melanggar perintah Allah. Khasiat-khasiat yang dimiliki oleh
naluri dan kebutuhan
jasmani dalam diri
manusia ditakdirkan oleh
Allah dan dijadikannya bersifat baku, mempunyai pengaruh/efek yang
menghasilkan suatu perbuatan. Akan
tetapi, bukanlah khasiat-khasiat tersebut yang melakukan perbuatan, melainkan
manusialah yang melakukan perbuatan saat ia menggunakan khasiat-khasiat
tersebut. Sebagai contoh, dorongan seksual yang ada pada gharizah nau‟ memang memiliki potensi kebaikan atau keburukan.
Namun perbuatan itu bukanlah dihasilkan oleh naluri tersebut, melainkan
dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Sebab Allah telah menciptakan akal bagi
manusia. Dan di dalam tabiat akal
diciptakan kemampuan memahami serta mempertimbangkan. Akal inilah yang akan
digunakan oleh manusia dalam menciptakan perbuatannya untuk memenuhi
kebutuhannya. Apakah ia akan memenuhi dorongan seksualnya sesuai dengan
perintah Allah hingga menghasilkan
kebaikan ataukah memenuhinya
dengan melanggar aturan
Allah sehingga menghasilkan keburukan dan kejahatan.[12]
Allah SWT
berfirman:
Artinya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang berakal. (QS.
Al-Imran: 190)
Akal inilah yang akan menjadi keunggulan
bagi manusia yang tidak dimiliki oleh hewan, sehingga manusia dalam melakukan
perbuatannya berdasarkan pada kemampuan akalnya. Akal ini pulalah yang akan
menghantarkan manusia untuk memilih perbuatannya sehingga akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan yang dipilihnya tersebut. Hal ini dapat
dijadikan hujjah untuk membantah
anggapan beberapa kalangan psikologi Barat yang maengatakan bahwa manusia
berjalan berdasarkan dorongan instinknya semata. Pendapat ini wajar muncul di
dunia Barat karena penelitian tentang perilaku dilakukan terhadap manusia dan
hewan kemudian disimpulkan sama antara perilaku yang muncul baik dari manusia
maupun oleh hewan. Inilah keunikan Islam dalam mengungkapkan keilmuannya, yang berbeda
dengan sudut pandang Barat. Islam mengkaji ilmu secara mendalam kemudian
dikaitkan dengan Agama yang memang
memiliki peranan dalam terciptanya perbuatan atas manusia. Hal ini menjadikan
Islam layak dijadikan sebagai rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan yang
sejatinya memiliki konsep yang terperinci.
C.
Faktor Penyebab Belum dijadikannya Psikologi
Kepribadian Islam sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
Meskipun telah
diungkapkan bahwa psikologi kepribadian Islam layak dijadika sebagai sebuah
disiplin ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu-ilmu psikologi lainnya, namun kenyataannya amat sulit untuk
mewujudkannya. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang menjadi penghambat
tercapainya hal tersebut. Ada dua faktor yang bisa dikemukakan untuk membahas
permasalahan ini, yakni:
a.Faktor internal, kemampuan para ilmuan Islam.
Pada faktor pertama ini, akan dikemukakan
bahwa belum dijadikannya kepribadian Islam sebagai sebuah disiplin ilmu
disebabkan karena kemampuan dari kalangan ilmuan Islam. Hal ini bukan berarti
dikatakan bahwa tidak ada dari kalangan umat Islam yang mampu membahas masalah
kepribadian Islam, justru banyak namun mereka dalam memberi pandangan tentang
psikologi lebih cenderung mengadopsi pendapat dari kalangan Barat sehingga yang
terjadi hanya penjelasan kembali terhadap pendapat ilmuan Barat. Hal ini
kemudian memicu ketidakmandirian dari kaum muslimin untuk mau menggali sendiri
dengan kemampaunnya dan merujuk pada sumber-sumber yang berasal dari Islam
sendiri. Kalaupun ada yang memberi kata “Islam” pada topik pembahasan
psikologinya maka ini hanyalah upaya memberi pandangan menurut Islam tentang
ilmu psikologi Barat.
Hal ini tak semestinya terjadi, karena pada
faktanya, kaum muslimin pun sebenarnya mampu untuk menggali dan mengembangkan
keilmuan Islamnya dengan sumber yang juga telah ada, tanpa harus merujuk pada
Barat yang sejatinya kebenaran terhadap pendapat mereka pun masih harus
dipertanyakan. Bahkan dunia Barat pun dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya
sering menjadikan Alquran sebagai rujukan, karena dipandang Alquran memiliki sumber keilmuan yang dibutuhkan oleh
dunia ilmu pengetahuan. Hanya saja, tentu hasil pengkajian mereka terhadap isi
Al-Quran akan
berbeda dengan yang dipahami oleh kaum muslimin karena mereka sendiri tidak
mengimani Alquran juga tidak mengimani Allah sebagai
pencipta dari kitab
tersebut. Sehingga apabila
kaum muslimin mengadopsi
pemikiran Barat dalam memahami Alquran maka bisa dipastikan kaum muslimin akan
mengalami kesalahan dalam menafsirkan juga dalam merealisasikannya.
Badri (1981), seorang psikolog berkebangsaan
Sudan, mengingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam menyerap psikologi
Barat. Menurut Badri, pengulangan yang tanpa dipikir lagi atas teori-teori dan praktek-praktek Barat
dalam disiplin psikologi merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap status
ideologi Islam, terutama diantara kaum pemikir dan kaum awam Islam. Secara
khusus Badri (sebagaimana yang dikutip oleh Bastaman, 1997) mengecam keras
aliran Psikoanalisis dan Behaviorism yang cukup dominan dewasa
ini. Badri mengecam corak reduksionistis oleh penganut Behaviorism yang
menganggap tingkah laku manusia (termasuk penghayatan etis religius)
semata-mata bersumber dari pengalaman menerima faktor- faktor penguat berupa
reward and punishment.
Lebih keras Badri mengecam Psikoanalisis,
antara lain terhadap konsep Id, Ego, dan Superego, serta Oedipus Complex yang
menurut Badri tidak lebih sekedar mitos belaka, bukan hasil penelitian ilmiah.
Begitu pula pandangan Sigmund Freud bahwa agama hanyalah sebuah ilusi, penyakit
jiwa yang dapat menghambat perkembangan kecerdasan, dan banyak lagi
pandangan lainnya. Teori-teori
demikian sangat bertentangan dengan
nilai-nilai ajaran Islam, namun karena dilapisi dengan “gula”, kemudian
dibungkus dan diberi label “ilmu pengetahuan”, maka banyak umat Islam yang
tergoda dan tentu sangat berbahaya bila diserap begitu saja .[13] Sejatinya kaum
muslimin harus lebih berhati-hati dalam upayanya mengembangkan illmu
pengetahuan, karena ilmu pengetahuan akan mempengaruhi tingkah laku sebagaimana
yang telah dibahas sebelumnya. Kaum muslimin pun harusnya beruapaya untuk
mengembangkan keilmuan Islam dengan kemandirian tanpa merujuk pada dunia Barat.
Meskipun dalam Islam pun dibolehkan untuk mengadopsi pemikiran Barat selama
tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, namun selama kaum muslimin bisa
melakukannya sendiri maka itu tentu jauh lebihbaik.
Tokoh-tokoh ilmuan Islam haruslah
menyumbangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat menjadi acuan/referensi
bagi generasi-generasi berikutnya sehingga tidak ada kekeliruan di dalam
memahami ilmu pengetahuan. Saat mengambil pendapat Barat pun hendaknya
dilakukan pengkajian terlebih dahulu sebelum disajikan sebagai sebuah ilmu
ppengetahuan yang dibahas dalam kontek ilmu pengetahuan Islam.
b.
Faktor eksternal,
tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi.
Pada faktor yang pertama, tak dapat
dipungkiri bahwa kaum muslimin mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan dan
upaya mengembangkannya. Keadaan kaum muslimin kini jauh berbeda dengan masa di
masa Islam mengalami kemajuan dalam peradaban, termasuk pada aspek pendidikan
dan ilmu pengetahuannya. Namun, ketika diamati, kemunduran ini tidak hanya
disebabkan oleh faktor internal atau
berasal dalam diri kaum muslimin itu sendiri, melainkan ada faktor eksternal yang juga turut andil dalam
menciptakan kemunduran tersebut. Adapun faktor tersebut yakni karena tidak
dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi (pandangan hidup). Dunia kini telah
mengemban ideologi kapitalisme sebagai
sebuah pandangan hidup juga sebagai ideologi dalam membangun Negara. Termasuk
ideologi ini pulalah yang menjadi asas bagi tegaknya kebijakan dalam dunia
pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Ideologi merupakan
pandangan hidup yang melahirkan aturan-aturan di atasnya. Adapun ideologi kapitalisme adalah ideologi
yang berasal dari Barat, dalam hal ini adalah Amerika yang memiliki asas
berfikir, fash al-diin an
al-hayat (memisahkan agama
dari kehidupan).[14] Di Indonesia
sendiri, ideologi yang diemban pun adalah ideologi
kapitalisme. Ideology ini pula memiliki asas, fash al-diin an ad-daulah (memisahkan agama dari Negara). Sehingga
dalam pandangan ideologi ini agama tidak boleh mengambil peranan dalam urusan
dunia dan Negara. Agama hanya boleh ada dalam aspek ibadah mahdha (prinsip dasar agama) saja, sedang untuk urusan kehidupan
maka manusialah yang berhak untuk membuat aturan atau ketetapan.
Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924, dunia tidak lagi dipimpin oleh
ideologi Islam, melainkan ideologi yang bersumber dari Barat yang tegak atas
asas aqidah kufur. Keruntuhan
Khilafah ini kemudian diikuti keruntuhan peradaban Islam, termasuk dalam dunia
ilmu pengetahuan. Hegemoni yang ditancapkan oleh kaum Barat dengan kekuatan
ideologinya ini menjadikan dunia berkiblat pada Barat, termasuk bagi
kaummuslimin. Kemunduran yang dialami oleh kaum muslimin dalam dunia pendidikan
adalah upayya yang sengaja diciptakan oleh Barat agar kaum muslimin jauh dari
khasanah keilmuan Islamnya kemudian menjadikan Barat sebagai pijakan kaum
muslimi dalam melahirkan pemahaman dan perbuatan. Hal ini tentu menyebabkan
kaum muslimin akhirnya menjadi pemikir-pemikir
Islam namun dengan bentukan pemahaman yang dikehendaki oleh Barat. Inilah
salah satu upaya Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Hal ini pun telah terjadi sejak Khilafah
masih ada namun telah mengalami keguncangan. Negara Imperialis yang saat itu
adalah Inggris mengirim ilmuan-ilmuannya ke dunia Islam dengan mengemban misi
merusak aqidah umat Islam dengan menyebarkan pemahaman filsafat yang
menyesatkan. Kaum muslimin dengan dorongan semangat menuntut ilmu menerima
dengan terbuka kedatangan misionaris tersebut dan mengadopsi pemahaman mereka.
Akhirnya, karena pengaruh filsafat tersebut kaum muslimin mengalami kemunduran
dalam berfikirnya disebabkan karena mereka berusaha memahami ayat-ayat Alquran
sesuai dengan kemauan akal mereka dan asas manfaat hingga akhirnya mengalami keguncangan Aqidah. Hingga pada
akhirnya banyak kaum muslimin yang merasa ragu akan kebenaran firman Allah di
dalam Alquran.
Hal itu hingga kini pun masih dikembangkan
oleh Barat dengan upaya agar kaum muslimi semakin mengalami kelemahan Aqidah
hingga akhirnya mengalami keruntuhan dan ketidakberdayaan. Dalam konteks
psikologi kepribadian Islam, meski secara teori dan fakta telah layak dijadikan
sebagai sebuah bagian dari disiplin ilmu, namun terhalang oleh hegemoni ideologi kapitalisme tersebut. Sehingga
meski layak namun jika bagi Barat
itu tidak sesuai dengan keinginannya
maka akan ditolak dengan alasan standart
Internasional. Hal ini pulalah yang menyebabkan kaum muslimin sulit untuk
menemukan buku-buku atau sumber-sumber ilmu yang sesuai dengan Islam, sehingga
kebanyakan dari mereka akhirnya mengadopsi pendapat- pendapat dari ilmuanBarat. Faktor inilah
yang memiliki dominasi yang besar terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan,
karena untuk mengatasi faktor pertama pun harus didukung oleh faktor kedua
tersebut. Sehingga jalan untuk bisa menjadikan kepribadian Islam serta
ilmu-ilmu Islam lainnya sebagai sebuah disiplin ilmu yang diakui oleh dunia
Internasional maka harus merubah hegemoni serta standart Internasional yang dipakai. Hal ini hanya bisa terwujud
manakala Islam yang dijadikan sebagai sebuah Ideologi yang melahirkan hegemoni
mendasar dan menyeluruh serta menjadi standart keilmuan dunia Internasional. Manakala Islam
dijadikan Ideologi maka hal ini tidaklah akan menjadi ancaman bagi keilmuan dan
pemikir-pemikir Barat. Islam membolehkan mengadopsi pemikiran-pemikiran mereka
selama tidak bertentangan dengan Islam dan tidak mengamcam kegoncangan Aqidah kaum muslimin.[15] Islam pun
membolehkan kaum muslimin mengambil ilmu Barat dalam bidang teknologi jika
dianggap itu dibutuhkan dan tidak berkaitan dengan prinsip sebuah Aqidah
tertentu. Hal ini semata dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan keilmuan
bagi kaum muslimin hingga mengalami kemajuandalam peradabannya.
Hegemoni ini memiliki peranan yang besar,
termasuk di dalam menetapkan kebijakan Negara dalam segala bidang, termasuk
dalam bidang pendidikan. Sehingga apabila hegemoni tersebut didasarkan pada
ideologi yang keliru maka akan menghasilkan kebijakan yang juga keliru,
sedangkana akan menghasilkan kebijakan yang benar apabila didasarkan pada
ideologi yang juga benar. Dan dalam pandangan Islam, kebenaran itu hanyalah
jika bersumber dari Allah SWT. Dan karena Islam adalah agama yang sempurna maka
Islam pun mengatur masalah kebijakan dan hegemoni yang ditanamkan atas dunia.
Islam pun merupakan sebuah ideologi yang di atasnya terpancar aturan-aturan
yang akan mengatur segala perbuatan manusia dalam kehidupannya dan manusia
wajib terikat dengan aturan tersebut agar mampu berjalan sesuai dengan
fitrahnya sebagai hamba Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas ditarik kesimpulan
bahwa Islam memiliki konsep dalam membahas psikologi kepribadian Islam sehingga
layak dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu dan dipergunakan dalam bidang
keilmuan. Islam telah membahas tentang masalah kepribadian manusia dan juga
perbuatan/tingkah laku manusia beserta faktor- faktor yang mempengaruhi
terciptanya perbuatan itu. Islam pula telah memberikan gambaran terhadap
keunikan manusia yang tidaklah lama dengan hewan sebagaimana yang dipahami oleh
psikologi Barat. Dalam kendalanya hingga kini belum diakui sebagai sebuah disiplin
ilmu pengetahuan, maka ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yakni faktor
yang berasal dari kalangan kaum muslimin sendiri serta faktor yang bersumber
dari ideologi yang mempengaruhi lahirnya sebuah hegemoni dalam dunia
pendidikan. Kedua faktor ini bisa terselesaikan manakala Islam dijadikan
sebagai sebuah ideologi yang menjadikan Islam sebagai asas dalam menentukan dan
menetapkan kebijakan ilmu pengetahuan.
Ideologi
kapitalisme yang menjadi penyebab belum diakuinya
beberapa cabang keilmuan Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu. Lebih
tepatnya dapat dikatakan bahwa Barat berupaya dengan hegemoninya menutup
kelayakan Islam menjadi bagian dari ilmu pengetahuan agar kaum muslimin semakin
jauh dari Islam. Mengupayakan agar kaum muslimin tidak memahami agamanya secara
benar, namun tersamar sehingga melahirkan pemahaman yang samar bahkan
bertentangan dengan Islam.Inilah realita yang harus dipahami oleh kaum
muslimin, bahwa perang pemikiran telah dilakukan oleh Barat atas diri dan Agama
mereka. Sehingga upaya yang harus dilakukan adalah kembali kepada keilmuan
Islam dan menjadikan Islam serta tokoh-tokohnya sebagai sumber rujukan dan
menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap dunia Barat yang hanya akan
menyebabkannya semakin jauh dari Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Cecilia
G. Samekto, Kamus Istilah Kunci Psikologi,
Kanisius: Yogyakarta, 1989
http://www.ilmupsokologi.com/Jakarta, 17-12-2010/13.35
Taqiyuddin
An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam,
PTI: Bogor, 1993
Ibid
Hizbut
Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah
Islamiyah, HTI Press: Jakarta, 2004
Taqiyuddin
an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah,
PTI: Bogor, 2003
[1]
Cecilia G. Samekto, Kamus
Istilah Kunci Psikologi, Kanisius: Yogyakarta, 1989, hal. 236-237
[3]
Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan
Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 23
[6] Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, PTI: Bogor, 2003,
hal. 1
[8]
Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan
Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 22
[14] Syamsuddin Ramadhan, Kritik Total Sosialisme-Komunisme, Al-Azhar Press: Bogor, 2001,
hal. 155
[15] Taqiyuddin
An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam,
PTI: Bogor, 1993, hal. 94
Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours
BalasHapusOver 160000 women and men are losing weight with a simple and secret "water hack" to burn 2 lbs each night as they sleep.
It is painless and works with anybody.
Here are the easy steps for this hack:
1) Get a clear glass and fill it half full
2) Proceed to do this amazing HACK
you'll become 2 lbs skinnier in the morning!