Langsung ke konten utama

MAKALAH KEPRIBADIAN DALAM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tigapengertian. Pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh JohnWatson.
Pengertian pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Psikolog di sini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan atas pendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat psikologi yang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Psikologi seakan-akan masih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas hakekat jiwa. Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian,  persepsi, intelegensi,  kemauan,  dan  ingatan.  Namun  pemisahan  ini  belum  sempurna,  sehingga antara disiplin filsafat dengan psikologi masih berbaur. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala- gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya dari kalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa. Mereka bahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.[1]
Barat dalam memberi gambaran tentang gejala kejiwaan cenderung melakukan penelitian terhadap manusia dan juga binatang, karena dalam pandangan Barat, manusia tak jauh berbeda dengan manusia yang sama-sama memiliki kebutuhan (baik kebutuhan jasmani maupun naluri) serta keinginan untuk memenuhinya. Hal ini kemudian dibantah oleh salah seorang pakar psikologi Islam Dr. Abdul Mujib dalam bukunya Kepribadian Dalam Psikologi Islam yang mengungkapkan bahwa, perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori kepribadian Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realita.  Perilaku  yang  sesuai  dengan  perintah  agama  seharusnya  dinilai  baik,  dan  apa yang
dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma‟ruf), tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).[2]
Hal di ataslah yang kemudian melahirkan sebuah pemikiran yang cemerlang  bahwa dalam mempelajari gejala kejiwaan yang dialami oleh manusia khususnya umat Islam maka tak cukup hanya dengan semata mengambil pandangan dari tokoh psikologi Barat, karena dasar dari pemikiran yang melahirkan sebuah pemahaman dan keilmuan antara Barat dengan kaum muslimin adalah berbeda. Jika Barat hanya sekedar mengkaji gejala kejiwaan manusia pada aspek-aspek yang nampak dari tingkah laku manusia saja, maka Islam tak terbatas pada itu saja, karena dalam pandangan Islam manusia hidup di dunia ini tak semata perbuatannya itu lahir apa yang diinginkan oleh manusia itu sendiri melainkan ada kejadian-kejadian yang dialami manusia di mana manusia tidak punya kuasa untuk menolak (baik itu mau menerima ataupun menolak). Hal ini disebut oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dengan istilah Lingkaran Yang Menguasai Manusia.[3] Dalam konteks ini beliau menjelaskan bahwa perbuatan manusia ada yang terjadi karena sudah menjadi ketetapan Sang Pencipta (Allah SWT) di mana manusia harus menerima itu sebagai sebuahSunnatullah.[4]
Pada dasarnya, konsep pengamatan tentang kejiwaan bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam, karena telah banyak ilmuan-ilmuan Islam yang memberikan pandangannya tentang  konsep kejiwaan, seperti Imam al-Ghazali yang berbicara tentang An-Nafs, Taqiyuddin yang membahas tentang Af‟al Al-Insan dan lain sebagainya. Sehingga sejatinya kaum muslimin sudah selayaknya berbicara tentang psikologi dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran dari kalangan ilmuan Islam, bukan terfokus pada pemikiran psikologiBarat. Namun nampaknya, berbicara tentang hal ini tak sesederhana di atas, karena faktor yang menjadikan psikologi Islam belum diakui oleh dunia Internasional sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan tak hanya karena ilmuan kaum muslimin yang tak menjadikan Islam sebagai acuan keilmuannya, melainkan ada faktor eksternal yang memicu hal itu terjadi. Dan faktor tersebut adalah karena tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi, bahkan kini Ideologi yang menaungi dunia termasuk dunia Islam adalah Ideologi Kapitalisme yang bersumber dari Barat. Hal inilah yang menjadikan Barat sebagai kiblat bagi seluruh dunia dalam segala lini kehidupan. Salah satunya adalah di bidang pendidikan dan keilmuan. Faktor inilah yang menyebabkan Islam kini tidak lagi dipandang sebagai sebuah Agama yang juga memiliki konsep keilmuan yang bisa digunakan dalam kanca pendidikan dan keilmuan. Sehingga, untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari keilmuan yang diakui maka faktor ekternal ini pun harus dirubah agar tidak melahirkan hegemoni yang mendiskreditkan Islam.

B.     Rumusan Masalah

1.        Apakah Islam telah membahas masalah Kepribadian?
2.        Bagaimana pandangan Islam tentang Kepribadian?
3.        Bagaimana pula pandangan Islam tentang Tingkah Laku Manusia?
4.        Layakkah Psikologi Kepribadian Islam dijadikan sebagai bagian dari cabang ilmu psikologi?
5.        Faktor-faktor yang meyebabkan Psikologi Kepribadian Islam belum dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang diakui oleh duniaInternasional?

C.    Tujuan Penulisan

a.       Untuk mengetahui apakah Islam telah membahas masalah Kepribadian.
b.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang Kepribadian.
c.       Untuk mengetahui pandangan Islam tentang Tingkah Laku Manusia.
d.      Untuk mengetahui layakkah Psikologi Kepribadian Islam dijadikan sebagai bagian dari cabang ilmu psikologi.
e.       Untuk mengetahui faktor-faktor yang meyebabkan Psikologi Kepribadian Islam belum dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang diakui oleh duniaInternasional.
























BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Islam Telah Membahas tenntang Kepribadian

Konsep atau teori kepribadian Islam harus segera tampil untuk menjadi acuan normatif bagi umat Islam. Perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori kepribadian Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realita. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma‟ruf), tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).[5] Para psikolog dalam melakukan interpretasi test-test psikologi terhadap klien terkadang memerankan diri sebagai Tuhan (play God), melalui alat yang disebut dengan instrumen atau alat test tertentu, padahal ia hanya tahu kulit luarnya saja. Ironisnya, hal itu menjadi acuan untuk diterima-tidaknya seseorang menjadi pegawai atau jabatan tertentu. Bagi calon pegawai yang mengerti tentang kiat-kiat sukses dalam test kepribadian, ia akan belajar terlebih dahulu bagaimana caranya agar ia mendapat nilai baik, karena alat testnya diulang-ulang (itu-itu saja). Test kepribadian dalam konteks ini tidak akan mampu menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya.
Untuk diakui sebagai disiplin ilmu, membangun teori kepribadian berbasis Psikologi Islam akan menghadapi problem metodologis yang rumit. Hal itu terjadi sebab Psikologi Kepribadian Islam berada di dua persimpangan jalan yang harus dilalui. Persimpangan pertama harus melalui prinsip-prinsip ilmiah psikologi modern, sementara persimpangan kedua harus melalui nilai-nilai doktriner dalam Islam. Pada aspek tertentu kedua persimpangan itu mudah dilalui secara simultan, namun pada aspek yang lain justru bertabrakan yang salah satunya tidak mau dikalahkan. Betapapun sulit dan bahkan akan mengalami proses pendangkalan dan klaim tergesah- gesah, upaya membangun Psikologi Kepribadian Islam tidak dapat ditundah-tunda lagi. Fenomena perilaku yang menimpah umat Islam akhir-akhir ini tidak mungkin dapat dianalisis dengan teori-teori Psikologi Kepribadian Barat. Perilaku radikalisme beragama, bom bunuh diri yang populer dengan sebutan bom syahid, maraknya jamaah zikir dan muhasabah, senyumnya Amrozi saat divonis mati adalah sederetan perilaku yang unik dan membutuhkan analisis khusus dari teori-teori Psikologi Kepribadian Islam. Boleh jadi dalam teori Psikologi Kepribadian Barat perilaku tersebut merupakan patologis, sementara dalam Psikologi Kepribadian Islam diyakini sebagai perilaku yang mencerminkan aktualisasi diri atau realisasi diri.
Menghadirkan disiplin kepribadian Islam tidaklah mudah, sebab hal itu mengundang banyak pertanyaan. Klaim ketidakilmiahan dan kerancuan metodologis menjadi senjata penyerangan bagi mereka yang antipati terhadap kehadiran disiplin yang berbasis agama. Bukankah psikologi kepribadian selama ini hanyalah hasil adopsi dari teori-teori Barat? Apakah hal itu tidak menjadikan bias budaya? Mungkinkah teori yang dihasilkan dari penelitian atau eksperimen budaya Barat, bahkan ‟budaya‟ binatang (karena eksperimennya menggunakan binatang), dijadikan pisau analisis dalam melihat perilaku umat Islam? Uichol Kim, seorang psikolog asal Korea, mengkritisi psikologi Barat yang menyamaratakan pandangan psikologinya sebagai human universal dengan menawarkan konsep psikologi pribumi (the indigenous psychology). Menurut Kim, yang dikutip Achmad Mubarok, manusia tidak cukup dipahami dengan teori psikologi Barat, karena psikologi Barat hanya tepat untuk mengkaji manusia Barat sesuai dengan kultur sekulernya yang melatarbelakangi lahirnya ilmu itu. Untuk memahami manusia di belahan bumi lain harus digunakan pula basis kultur dimana manusia itu hidup.
Ketika psikologi Islam menghadirkan konsep kepribadian, masalah pertama yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah terminologi apakah menggunakan istilah kepribadian Islam (al- syakhshiyyah al-Islamiyyah) atau kepribadian muslim (syakhshiyyat al-muslim):

Pertama, Kepribadian Islam memiliki arti serangkaian perilaku manusia, baik sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial, yang normanya diturunkan dari ajaran Islam, yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dari kedua sumber tersebut, para pakar berusaha berijtihad untuk mengungkap bentuk-bentuk kepribadian menurut ajaran Islam, agar bentuk- bentuk itu diterapkan oleh pemeluknya. Rumusan kepribadian Islam di sini bersifat deduktif. sesuatu yang kemudian melahirkan sebuah pemahaman yang akan mempengaruhi segala pendapat-pendapat yang dianggapnya sesuai dengan pola pikirnya. Sehingga apabila seseorang mengeluarkan pendapat yang didasarkan pada Akidah Islam maka pola pikirnya bisa disebut sebagai „Aqliyah Islamiyah (pola pikir yang Islami). Jika pendapatnya itu didasarkan pada selain dari Aqidah Islam maka pola pikirnya disebut „Aqliyah ghaira Islamiyah (pola pikir selain Islam).
Sedangkan nafsiyah (pola sikap) adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi tuntutan gharizah (naluri) dan hajat al-„adhawiyah (kebutuhan jasmani); yakni upaya untuk memenuhi tuntutan berdasarkan kaidah yang diimani dan diyakininya. Atau dengan kata lain, nafsiyah yaitu bentuk tingkah laku seseorang yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhannya berdasarkan apada apa yang diyakininya atau yang dipahaminya. Jika pemenuhan terhadap kebutuhannya itu berdasarkan Akidah Islam, maka pola sikapnya dinamakan nafsiyah Islamiyah (pola sikap Islami), sebaliknya jika pola sikapnya tidak didasarkan pada Islam maka pola sikapnya disebut pola sikap yang tidak Islami (nafsiyah ghaira Islamiyah). Dalam konteks ini, disebut apa jenis kepribadian seseorang tergantung pada pembentukan „aqliyah dan nafsiyah yang dimilikinya. Pembentukan kepribadian seseorang sangat bergantung pada mafahim (pemahaman) yang dimilikinya akan sesuatu.[6] Atau dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa pembentukan pola pikir serta pola sikap seseorang sangat tergantung pada pemahaman yang dimilikinya sehingga akan melahirkan sebuah persepsi terhadap sesuatu yang akan mempengaruhi gejolak kejiwaannya. Seseorang akan memenuhi kebutuhan jasmaninya dengan melakukan aktifitas atau perbuatan seperti makan, dan dia akan makan berdasarkan makanan apa  yang ia  pahami  dan  ia  pikirkan  dalam  pemikirannya.  Manakala  ia  memahami bahwa Islam mengharuskan memakan makanan yang halal, maka ia akan mencari makanan yang halal untuk dimakannya, sebaliknya, manakala pemahamannya hanya sebatas pemenuhan kebutuhan jasmani semata, maka ia akan makan apa saja yang ia kehendaki berdasarkan dorongan instiknya tanpa bersandar pada sebuah pemahaman yang membuatnya terikat pada suatu aturan yang jelas dan baku.
Seseorang bisa dikatakan berkepribadian Islam jika menjadikan Aqidah Islam sebagai asas  dalam   membentuk   „aqliyah  dan  nafsiyah-nya.[7]   Artinya   bahwa,   seseorang   haruslah menyesuaikan pola pikir dan pola sikapnya pada apa yang diimani dan menjalankannya sesuai dengan ketentuan yang diimani tersebut. Dan Islam sebagai asas dalam aqidah Islam harus dijadikan dasar dalam membentuk pola pikir yang mempengaruhi pola sikapnya agar  bisa disebut memiliki kepribadian Islam. Sebuah kepribadian dapat dikatakan sempurna apabila antara pola pikir dan pola sikap berjalan seiringan, yakni pemikiran seseorang haruslah sesuai dengan perbuatannya, demikian pula sebaliknya, perbuatan atau tingkah laku seseorang haruslah sejalan dengan apa yang dipahami oleh pemikirannya. Seperti, jika seseorang memahami bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, maka ia tidak boleh melakukan perbuatan yang membuatnya menyekutukan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang ia yakini. Apabila pola pikir tidak sejalan dengan pola sikap, atau berbeda antara yang dipahami dengan yang dilakukan maka orang tersebut dipandang tidak memiliki kepribadian yang Islami. Hal inilah yang menjadikan konsep kepribadian Islam unik sehingga berbeda dengan kepribadian yang selama ini dipahami dan dikembangkan oleh dunia Barat.
Hal ini telah menjadi bukti bahwa Islam telah memiliki konsep psikologi dalam hal kepribadian sehingga kepribadian Islam pun layak dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu dalam dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan karena konsep pemikirannya telah sesuai dengan pembentukan tingkah laku seseorang yang dikaitkan dengan agama yang diyakininya, khususnya bagi kalangan kaum muslimin. Perbedaan antara pola keribadian Islam yang terikat dengan aturan Islam inilah yang menjadikan kepribadian Islam berbeda dengan psikologi Barat yang hanya mengarah pada aspek kebutuhan manusia serta pemenuhannya yang didasarkan pada dorongan instink, id, ego dan superego semata. Hal ini pula yang menjadikan kepribadian Islam memiliki konsep akan perbuatan manusia, bahwa tidak semua yang terjadi pada manusia itu muncul karena sifat naluriah atau naturalisasi, melainkan ada kejadian-kejadian di mana bukan manusia yang menghendaki itu terjadi bahkan manusia tak kuasa untuk menolaknya, seperti kelahiran, fitrah wanita yang berbeda dengan pria, kematian, musibah dan lain sebagainya yang akan dibahas pada poinberikutnya.

B.     Pandangan Islam tentang Perilaku Manusia

Tingkah laku manusia dalam pandangan psikologi Barat merupakan respon dari stimulus yang ia dapatkan di luar dari dirinya. Misalnya, seseorang akan meraih suatu benda dengan respon mengulurkan tangannya jika ada stimulus yang membuatnya berbuat itu, dan stimulus itu adalah adanya orang lain yang mengarahkan benda tersebut kepada dirinya. Lebih jauh, menurut pandangan ini, manusia akan memenuhi kebutuhannya berdasarkan dorongan instinknya semata, sehingga manakala seseorang mengalami kematian karena kelaparan maka itu naturalisme dari ketidakpatuhannya akan dorongan instink. Barat dalam mengemukakan pendapatnya serta dalam memperkenalkan pendapatnya selalu didasari pada pembuktian secara empiris bahwa pendapatnya itu telah terbukti kebenarannya. Namun disayangkan, Barat dalam mempelajari tentang tingkah laku hanya mengamati apa yang nampak dari luar manusia itu semata, bahkan menyamakan hasil psikologinya antara kejiwaan manusia denganbinatang.
Meski diakui bahwa manusia memang memiliki kesamaan dengan hewan dalam hal sama-sama memiliki naluri dan kebutuhan jasmani serta adanya upaya untuk memenuhinya, namun yang membedakan dari keduanya adalah dalam aspek upaya pemenuhannya tersebut. Jika hewan memenuhi kebutuhannya sebatas dorongan instink semata, maka berbeda dengan  manusia, manusia dalam memenuhi naluri dan kebutuhan jasmaninya tidak semata karena  adanya dorongan instink yang melahirkan perbuatan sesuai dengan instinknya, melainkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya haruslah terikat dengan aturan-aturan agama yang mengatur perbuatannya. Hal ini disebabkan karena manusia diberi keunggulan dengan anugerah akal yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh hewan. Lebih lanjut aspek ini akan dibahas pada pembahasanberikutnya.
Dalam Islam, ada beberapa hal yang akan dikemukakan saat membahas tentang  perbuatan manusia dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan karena perbuatan yang lahir dari manusia akan menunjukkan keluhuran manusia sebagai makhluk Allah yang sempurna sekaligus mematahkan pendapat ilmuan Barat yang menyatakan bahwa manusia itu sama bahkan berasal dari hewan (baca, teori Darwin).
Dalam Al-Quran, Allah SWT brfirman:
Artinya: Katakanlah; “Tidak ada bahaya yang akan menimpa kami kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atas kami…” (QS. At-Taubah [9]: 51)
Di ayat lain, Allah pun berfirman:
Artinya: Tidak tersembunyi sebesar zarrah (atom) pun yang ada di ruang angkasa dan bumi. Tidak ada yang lebih kecil dari itu dan tidak pula yang lebih besar melainkan semuanya sudah ada dalam Kitab yang jelas (pada ilmu Allah). (QS. Saba‟ [34]: 3)
Ayat-ayat di atas, juga ayat-ayat yang semisalnya sering dipakai oleh kebanyakan orang (ahli kalam) pada saat membahas perbuatan manusia untuk dijadikan dalil seolah-olah manusia “dipaksa” untuk melakukan perbuatannya. Dan bahwasanya semua perbuatan itu dilakukan karena “dipaksa” oleh adanya Iradah (kehendak). Dikesankan pula bahwa Allah telah menciptakan manusia sekaligus perbuatannya. Mereka berusaha menguatkan pendapat mereka dengan dalil:
 Artinya: Padahal Allah yang menciptakanmu termasuk apa yang kamu kerjakan. (QS. Ash- Shaffaat [37]: 96)
Terdapat beberapa kalangan ilmu Kalam yang membahas tentang perbuatan manusia, di antaranya: dari kalangan Ahli Sunnah memiliki pendapat bahwa manusia itu memiliki apa yang disebut kasb ikhtiari di dalam perbuatan-perbuatannya (tatkala manusia hendak berbuat sesuatu maka Allah menentukan/menciptakan amal perbuatan tersebut), sehingga manusia akan dihisab (dimintai pertanggungjawaban) atas perbuatannya tersebut. Kalangan Mu‟tazilah berpendapat bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya dan manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut karena ia sendirilah yang menciptakan/menghendaki perbuatannya itu. Sedangkan kalangan Jabariyah berpendapat bahwa Allah menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia “dipaksa” melakukan perbuatannya dan tidak bebas memilih, ibarat bulu yang terbang sesuai dengan arah angin menerbangkannya.[8]
Ketika mengamati tentang hakekat perbuatan manusia maka akan kita jumpai bahwa manusia itu hidup di dalam dua area, yakni area yang dikuasai oleh manusia dan area yang menguasai manusia. Arean pertama, yakni area yang dikuasai oleh manusia merupakan area  yang berada di bawah kekuasaan manusia di mana semua perbuatan yang terjadi pada dirinya ditentukan berdasarkan pilihannya sendiri. Dalam area ini manusia bebas untuk memilih apakah akan melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, seperti keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya (makan) apakah memakan makanan yang halal (sesuai dengan perintah Allah) ataukah yang haram (yang bertentangan dengan perintah Allah) ini berada pada kekuasaan dan kebebasan manusia untuk memilih. Dalam inilah maka dikatakan bahwa manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di hari kiamat kelak karena dialah yang menentukan perbuatannya sendiri dan tidak berkaitan denganSunnatullah.
Adapun area yang kedua, yakni area yang menguasai manusia merupakan area di mana kejadian yang terjadi terhadap diri manusia adalah di luar dari pilihan manusia itu sendiri, tanpa memiliki andil sedikitpun untuk memilih atau meninggalkannya, baik itu kejadian yang berasal dari dirinya sendiri ataukah yang menimpa dirinya. Kejadian-kejadian pada area ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh nidzamul wujud (Sunnatullah).[9] Dalam hal ini, manusia dipaksa untuk tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai ketentuan Sunnatullah, sebab ada kejadian di mana manusia  harus  menjalaninya  sesuai  dengan   mekanisme  tententu  yang  tidak  kuasa      untuk dilanggarnya. Misalnya, manusia datang (lahir) dan meninggalkan (mati) dunia ini tanpa sesuai dengan kemauannya. Ia tidak dapat terbang ke udara, berjalan di atas air, tidak dapat  menciptakan sendiri warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya, dan lain sebagainya. Akan tetapi Allah SWT lah yang menciptakan semua itu tanpa ada pengaruh atau tanpa ada hubungannya sedikitpun dengan hamba (makhluk)-Nya. Inilah ketetapan yang tak kuasa manusia untuk melanggarnya, menolaknya bahkan mengubahnya. Sehingga atas kejadian-kejadian yang telah ditetapkan oleh Sunnatullah ini manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban, karena  di luar darikekuasaannya.
Kedua, yakni kejadian yang tidak ditentukan oleh Sunnatullah namun berada di luar kekuasaan manusia, yaitu perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya  yang sama sekali tidak mampu untuk ditolaknya.[10] Misalnya, seseorang yang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga mati, atau orang yang menembak burung tetapi tidak sengaja mengenai orang lain hingga mati. Menembak burung kemudian tembakan itu menimpa orang  lain hingga mati bukanlah sebuah Sunnatullah. Artinya, saat menembak buruk tidak akan  selalu tertimpa kepada orang lain kemudian menyebabkan orang tersebut meninggal. Ini adalah kejadian yang tidak disangka oleh manusia, sehingga manusia juga tidak kuasa untuk menolak kejadian ini karena terjadi di luar kekuasaannya meski tidak terikat dengan Sunnatullah. Dalam kejadian ini maka manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban karena kejadian yang menimpa dirinya bukanlah sesuai dengan kehendaknya, dan ia tidak kuasa untukmenolaknya.
Dalam perbuatannya manusia melakukannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai fitrah atasnya, yakni gharizah (naluri) dan hajatul adhawiyah (kebutuhan jasmani). Dalam gharizah nau‟ (naluri melestarikan keturunan) telah diciptakan khasiat dorongan seksual, sedang pada hajatul„ adhawiyah diciptakan khasiat seperti rasa lapar, hausdan sebagainya. Semua khasiat ini dijadikan oleh Allah bersifat baku sesuai dengan Sunnatul Wujud (peraturan alam yang ditetapkanAllah).[11] Khasiat-khasiat yang telah ditetapkan atas manusia di atas memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan oleh manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah dan akan menjadi amal kejahatan apabila melanggar perintah Allah. Khasiat-khasiat yang dimiliki  oleh  naluri  dan  kebutuhan  jasmani  dalam  diri  manusia  ditakdirkan  oleh  Allah dan dijadikannya bersifat baku, mempunyai pengaruh/efek yang menghasilkan suatu perbuatan.  Akan tetapi, bukanlah khasiat-khasiat tersebut yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukan perbuatan saat ia menggunakan khasiat-khasiat tersebut. Sebagai contoh, dorongan seksual yang ada pada gharizah nau‟ memang memiliki potensi kebaikan atau keburukan. Namun perbuatan itu bukanlah dihasilkan oleh naluri tersebut, melainkan dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Sebab Allah telah menciptakan akal bagi manusia. Dan di dalam tabiat akal diciptakan kemampuan memahami serta mempertimbangkan. Akal inilah yang akan digunakan oleh manusia dalam menciptakan perbuatannya untuk memenuhi kebutuhannya. Apakah ia akan memenuhi dorongan seksualnya sesuai dengan perintah Allah hingga menghasilkan   kebaikan   ataukah   memenuhinya   dengan   melanggar   aturan   Allah sehingga menghasilkan keburukan dan kejahatan.[12]
Allah SWT berfirman:
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal. (QS. Al-Imran: 190)
Akal inilah yang akan menjadi keunggulan bagi manusia yang tidak dimiliki oleh hewan, sehingga manusia dalam melakukan perbuatannya berdasarkan pada kemampuan akalnya. Akal ini pulalah yang akan menghantarkan manusia untuk memilih perbuatannya sehingga akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dipilihnya tersebut. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membantah anggapan beberapa kalangan psikologi Barat yang maengatakan bahwa manusia berjalan berdasarkan dorongan instinknya semata. Pendapat ini wajar muncul di dunia Barat karena penelitian tentang perilaku dilakukan terhadap manusia dan hewan kemudian disimpulkan sama antara perilaku yang muncul baik dari manusia maupun oleh hewan. Inilah keunikan Islam dalam mengungkapkan keilmuannya, yang berbeda dengan sudut pandang Barat. Islam mengkaji ilmu secara mendalam kemudian dikaitkan dengan Agama   yang memang memiliki peranan dalam terciptanya perbuatan atas manusia. Hal ini menjadikan Islam layak dijadikan sebagai rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan yang sejatinya memiliki konsep yang terperinci.

C.    Faktor Penyebab Belum dijadikannya Psikologi Kepribadian Islam sebagai Sebuah Disiplin Ilmu
Meskipun telah diungkapkan bahwa psikologi kepribadian Islam layak dijadika sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu-ilmu psikologi lainnya,  namun kenyataannya amat sulit untuk mewujudkannya. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang menjadi penghambat tercapainya hal tersebut. Ada dua faktor yang bisa dikemukakan untuk membahas permasalahan ini, yakni:
a.Faktor internal, kemampuan para ilmuan Islam.
Pada faktor pertama ini, akan dikemukakan bahwa belum dijadikannya kepribadian Islam sebagai sebuah disiplin ilmu disebabkan karena kemampuan dari kalangan ilmuan Islam. Hal ini bukan berarti dikatakan bahwa tidak ada dari kalangan umat Islam yang mampu membahas masalah kepribadian Islam, justru banyak namun mereka dalam memberi pandangan tentang psikologi lebih cenderung mengadopsi pendapat dari kalangan Barat sehingga yang terjadi hanya penjelasan kembali terhadap pendapat ilmuan Barat. Hal ini kemudian memicu ketidakmandirian dari kaum muslimin untuk mau menggali sendiri dengan kemampaunnya dan merujuk pada sumber-sumber yang berasal dari Islam sendiri. Kalaupun ada yang memberi kata “Islam” pada topik pembahasan psikologinya maka ini hanyalah upaya memberi pandangan menurut Islam tentang ilmu psikologi Barat.
Hal ini tak semestinya terjadi, karena pada faktanya, kaum muslimin pun sebenarnya mampu untuk menggali dan mengembangkan keilmuan Islamnya dengan sumber yang juga telah ada, tanpa harus merujuk pada Barat yang sejatinya kebenaran terhadap pendapat mereka pun masih harus dipertanyakan. Bahkan dunia Barat pun dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya sering menjadikan Alquran sebagai rujukan, karena dipandang Alquran  memiliki sumber keilmuan yang dibutuhkan oleh dunia ilmu pengetahuan. Hanya saja, tentu hasil pengkajian mereka terhadap isi Al-Quran akan berbeda dengan yang dipahami oleh kaum muslimin karena mereka sendiri tidak mengimani Alquran juga tidak mengimani Allah sebagai pencipta  dari  kitab  tersebut.  Sehingga  apabila  kaum  muslimin  mengadopsi  pemikiran Barat dalam memahami Alquran maka bisa dipastikan kaum muslimin akan mengalami kesalahan dalam menafsirkan juga dalam merealisasikannya.
Badri (1981), seorang psikolog berkebangsaan Sudan, mengingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam menyerap psikologi Barat. Menurut Badri, pengulangan yang tanpa dipikir  lagi atas teori-teori dan praktek-praktek Barat dalam disiplin psikologi merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap status ideologi Islam, terutama diantara kaum pemikir dan kaum awam Islam. Secara khusus Badri (sebagaimana yang dikutip oleh Bastaman, 1997) mengecam keras aliran Psikoanalisis dan Behaviorism yang cukup dominan dewasa ini. Badri mengecam corak reduksionistis oleh penganut Behaviorism yang menganggap tingkah laku manusia (termasuk penghayatan etis religius) semata-mata bersumber dari pengalaman menerima faktor- faktor penguat berupa reward and punishment.
Lebih keras Badri mengecam Psikoanalisis, antara lain terhadap konsep Id, Ego, dan Superego, serta Oedipus Complex yang menurut Badri tidak lebih sekedar mitos belaka, bukan hasil penelitian ilmiah. Begitu pula pandangan Sigmund Freud bahwa agama hanyalah sebuah ilusi, penyakit jiwa yang dapat menghambat perkembangan kecerdasan, dan banyak lagi pandangan  lainnya.  Teori-teori  demikian sangat  bertentangan  dengan  nilai-nilai ajaran Islam, namun karena dilapisi dengan “gula”, kemudian dibungkus dan diberi label “ilmu pengetahuan”, maka banyak umat Islam yang tergoda dan tentu sangat berbahaya bila diserap begitu saja .[13] Sejatinya kaum muslimin harus lebih berhati-hati dalam upayanya mengembangkan illmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan akan mempengaruhi tingkah laku sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. Kaum muslimin pun harusnya beruapaya untuk mengembangkan keilmuan Islam dengan kemandirian tanpa merujuk pada dunia Barat. Meskipun dalam Islam pun dibolehkan untuk mengadopsi pemikiran Barat selama tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, namun selama kaum muslimin bisa melakukannya sendiri maka itu tentu jauh lebihbaik.
Tokoh-tokoh ilmuan Islam haruslah menyumbangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat menjadi acuan/referensi bagi generasi-generasi berikutnya sehingga tidak ada kekeliruan di dalam memahami ilmu pengetahuan. Saat mengambil pendapat Barat pun hendaknya dilakukan pengkajian terlebih dahulu sebelum disajikan sebagai sebuah ilmu ppengetahuan yang dibahas dalam kontek ilmu pengetahuan Islam.
b.      Faktor eksternal,  tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi.
Pada faktor yang pertama, tak dapat dipungkiri bahwa kaum muslimin mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan dan upaya mengembangkannya. Keadaan kaum muslimin kini jauh berbeda dengan masa di masa Islam mengalami kemajuan dalam peradaban, termasuk pada aspek pendidikan dan ilmu pengetahuannya. Namun, ketika diamati, kemunduran ini tidak hanya disebabkan oleh faktor internal atau berasal dalam diri kaum muslimin itu sendiri, melainkan ada faktor eksternal yang juga turut andil dalam menciptakan kemunduran tersebut. Adapun faktor tersebut yakni karena tidak dijadikannya Islam sebagai sebuah Ideologi (pandangan hidup). Dunia kini telah mengemban ideologi kapitalisme sebagai sebuah pandangan hidup juga sebagai ideologi dalam membangun Negara. Termasuk ideologi ini pulalah yang menjadi asas bagi tegaknya kebijakan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Ideologi merupakan pandangan hidup yang melahirkan aturan-aturan di atasnya. Adapun ideologi kapitalisme adalah ideologi yang berasal dari Barat, dalam hal ini adalah Amerika yang memiliki  asas  berfikir,  fash  al-diin  an  al-hayat  (memisahkan  agama  dari  kehidupan).[14] Di Indonesia sendiri, ideologi yang diemban pun adalah ideologi kapitalisme. Ideology ini pula memiliki asas, fash al-diin an ad-daulah (memisahkan agama dari Negara). Sehingga dalam pandangan ideologi ini agama tidak boleh mengambil peranan dalam urusan dunia dan Negara. Agama hanya boleh ada dalam aspek ibadah mahdha (prinsip dasar agama) saja, sedang untuk urusan kehidupan maka manusialah yang berhak untuk membuat aturan atau ketetapan.
Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924, dunia tidak lagi dipimpin oleh ideologi Islam, melainkan ideologi yang bersumber dari Barat yang tegak atas asas aqidah kufur. Keruntuhan Khilafah ini kemudian diikuti keruntuhan peradaban Islam, termasuk dalam dunia ilmu pengetahuan. Hegemoni yang ditancapkan oleh kaum Barat dengan kekuatan ideologinya ini menjadikan dunia berkiblat pada Barat, termasuk bagi kaummuslimin. Kemunduran yang dialami oleh kaum muslimin dalam dunia pendidikan adalah upayya yang sengaja diciptakan oleh Barat agar kaum muslimin jauh dari khasanah keilmuan Islamnya kemudian menjadikan Barat sebagai pijakan kaum muslimi dalam melahirkan pemahaman dan perbuatan. Hal ini tentu menyebabkan kaum muslimin akhirnya menjadi pemikir-pemikir   Islam namun dengan bentukan pemahaman yang dikehendaki oleh Barat. Inilah salah satu upaya Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Hal ini pun telah terjadi sejak Khilafah masih ada namun telah mengalami keguncangan. Negara Imperialis yang saat itu adalah Inggris mengirim ilmuan-ilmuannya ke dunia Islam dengan mengemban misi merusak aqidah umat Islam dengan menyebarkan pemahaman filsafat yang menyesatkan. Kaum muslimin dengan dorongan semangat menuntut ilmu menerima dengan terbuka kedatangan misionaris tersebut dan mengadopsi pemahaman mereka. Akhirnya, karena pengaruh filsafat tersebut kaum muslimin mengalami kemunduran dalam berfikirnya disebabkan karena mereka berusaha memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan kemauan akal mereka dan asas manfaat hingga akhirnya mengalami keguncangan Aqidah. Hingga pada akhirnya banyak kaum muslimin yang merasa ragu akan kebenaran firman Allah di dalam Alquran.
Hal itu hingga kini pun masih dikembangkan oleh Barat dengan upaya agar kaum muslimi semakin mengalami kelemahan Aqidah hingga akhirnya mengalami keruntuhan dan ketidakberdayaan. Dalam konteks psikologi kepribadian Islam, meski secara teori dan fakta telah layak dijadikan sebagai sebuah bagian dari disiplin ilmu, namun terhalang oleh hegemoni ideologi kapitalisme tersebut. Sehingga meski layak namun jika bagi Barat itu tidak sesuai  dengan keinginannya maka akan ditolak dengan alasan standart Internasional. Hal ini pulalah yang menyebabkan kaum muslimin sulit untuk menemukan buku-buku atau sumber-sumber ilmu yang sesuai dengan Islam, sehingga kebanyakan dari mereka akhirnya mengadopsi pendapat- pendapat dari ilmuanBarat. Faktor inilah yang memiliki dominasi yang besar terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan, karena untuk mengatasi faktor pertama pun harus didukung oleh faktor kedua tersebut. Sehingga jalan untuk bisa menjadikan kepribadian Islam serta ilmu-ilmu Islam lainnya sebagai sebuah disiplin ilmu yang diakui oleh dunia Internasional maka harus merubah hegemoni serta standart Internasional yang dipakai. Hal ini hanya bisa terwujud manakala Islam yang dijadikan sebagai sebuah Ideologi yang melahirkan hegemoni mendasar dan menyeluruh serta menjadi standart keilmuan dunia Internasional. Manakala Islam dijadikan Ideologi maka hal ini tidaklah akan menjadi ancaman bagi keilmuan dan pemikir-pemikir Barat. Islam membolehkan mengadopsi pemikiran-pemikiran mereka selama tidak bertentangan dengan Islam dan tidak mengamcam kegoncangan Aqidah kaum muslimin.[15] Islam pun membolehkan kaum muslimin mengambil ilmu Barat dalam bidang teknologi jika dianggap itu dibutuhkan dan tidak berkaitan dengan prinsip sebuah Aqidah tertentu. Hal ini semata dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan keilmuan bagi kaum muslimin hingga mengalami kemajuandalam peradabannya.
Hegemoni ini memiliki peranan yang besar, termasuk di dalam menetapkan kebijakan Negara dalam segala bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Sehingga apabila hegemoni tersebut didasarkan pada ideologi yang keliru maka akan menghasilkan kebijakan yang juga keliru, sedangkana akan menghasilkan kebijakan yang benar apabila didasarkan pada ideologi yang juga benar. Dan dalam pandangan Islam, kebenaran itu hanyalah jika bersumber dari Allah SWT. Dan karena Islam adalah agama yang sempurna maka Islam pun mengatur masalah kebijakan dan hegemoni yang ditanamkan atas dunia. Islam pun merupakan sebuah ideologi yang di atasnya terpancar aturan-aturan yang akan mengatur segala perbuatan manusia dalam kehidupannya dan manusia wajib terikat dengan aturan tersebut agar mampu berjalan sesuai dengan fitrahnya sebagai hamba Allah SWT.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas ditarik kesimpulan bahwa Islam memiliki konsep dalam membahas psikologi kepribadian Islam sehingga layak dijadikan sebagai sebuah disiplin ilmu dan dipergunakan dalam bidang keilmuan. Islam telah membahas tentang masalah kepribadian manusia dan juga perbuatan/tingkah laku manusia beserta faktor- faktor yang mempengaruhi terciptanya perbuatan itu. Islam pula telah memberikan gambaran terhadap keunikan manusia yang tidaklah lama dengan hewan sebagaimana yang dipahami oleh psikologi Barat. Dalam kendalanya hingga kini belum diakui sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, maka ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yakni faktor yang berasal dari kalangan kaum muslimin sendiri serta faktor yang bersumber dari ideologi yang mempengaruhi lahirnya sebuah hegemoni dalam dunia pendidikan. Kedua faktor ini bisa terselesaikan manakala Islam dijadikan sebagai sebuah ideologi yang menjadikan Islam sebagai asas dalam menentukan dan menetapkan kebijakan ilmu pengetahuan.
Ideologi kapitalisme yang menjadi penyebab belum diakuinya beberapa cabang keilmuan Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu. Lebih tepatnya dapat dikatakan bahwa Barat berupaya dengan hegemoninya menutup kelayakan Islam menjadi bagian dari ilmu pengetahuan agar kaum muslimin semakin jauh dari Islam. Mengupayakan agar kaum muslimin tidak memahami agamanya secara benar, namun tersamar sehingga melahirkan pemahaman yang samar bahkan bertentangan dengan Islam.Inilah realita yang harus dipahami oleh kaum muslimin, bahwa perang pemikiran telah dilakukan oleh Barat atas diri dan Agama mereka. Sehingga upaya yang harus dilakukan adalah kembali kepada keilmuan Islam dan menjadikan Islam serta tokoh-tokohnya sebagai sumber rujukan dan menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap dunia Barat yang hanya akan menyebabkannya semakin jauh dari Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Cecilia G. Samekto, Kamus Istilah Kunci Psikologi, Kanisius: Yogyakarta, 1989
Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993
Ibid
Hizbut Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, HTI Press: Jakarta, 2004
Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, PTI: Bogor, 2003










[1] Cecilia G. Samekto, Kamus Istilah Kunci Psikologi, Kanisius: Yogyakarta, 1989, hal. 236-237
[3] Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 23
[4] Ibid, hal. 24
[5] Hizbut Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, HTI Press: Jakarta, 2004, hal. 9
[6] Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, PTI: Bogor, 2003, hal. 1
[7] Hizbut Tahrir, Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, HTI Press: Jakarta, 2004, hal. 10
[8] Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 22
[9] Ibid, hal. 24
[10] Ibid, hal. 25
11 Ibid, hal. 26
[12]  Ibid, hal. 28

[14] Syamsuddin Ramadhan, Kritik Total Sosialisme-Komunisme, Al-Azhar Press: Bogor, 2001, hal. 155
[15] Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, PTI: Bogor, 1993, hal. 94

Komentar

  1. Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours

    Over 160000 women and men are losing weight with a simple and secret "water hack" to burn 2 lbs each night as they sleep.

    It is painless and works with anybody.

    Here are the easy steps for this hack:

    1) Get a clear glass and fill it half full

    2) Proceed to do this amazing HACK

    you'll become 2 lbs skinnier in the morning!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Motivasi Berprestasi

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mangandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. [1] McClelland [2] menekankan pentingnya kebutuhan berprestasi, karena orang yang berhasil dalam bisnis dan industri adalah orang yang berhasil menyelesaikan segala sesuatu. Ia menandai tiga motivasi utama, yaitu: penggabungan, kekuatan dan prestasi. Motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau kebutuhan dalam diri seseorang untuk mencapai hasil terbaik. Motivasi berprestasi juga dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk menguasai hal-hal yang ...

MAKALAH PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TEORI JULIAN ROTTER

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Teori belajar kognitif sosial dari Julian Rotter dan Walter Mischel, masing-masing berlandaskan asumsi bahwa faktor kognitif membantu membentuk bagaimana manusia akan bereaksi terhadap dorongan dari lingkungannya. Kedua pakar teori tersebut menolak penjelasan Skinner yang menyatakan bahwa perilaku terbentuk oleh penguatan langsung, malah mereka menyebutkan bahwa ekspektasi seseorang atas kejadian yang akan datang adalah determinan utama dari perilaku. Rotter beragumen bahwa perilaku manusia paling dapat diprediksikan melalui pemahaman dari interaksi antara manusia dan lingkungan yang berarti untuk mereka. Sebagai interaksionis, Rotter yakin bahwa tidak ada satu pun individu ataupun lingkungan itu sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab atas perilaku. Malah, ia beragumen bahwa kondisi manusia, sejarah masa lalu dan ekspektasi terhadap masa depan adalah kunci utama untuk memprekdisikan perilaku. Dalam hal ini, ia ber...