Langsung ke konten utama

MAKALAH PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara tentang bentuk pemerintahan, kita mesti faham terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan negara dan perbedaannya dengan pemerintah. Sejatinya negara adalah sebuah organisasi. Selayaknya organisasi, maka negara pun memiliki peraturan, selain itu negara juga memiliki sebuah badan yang berfungsi merumuskan, menjalankan dan mengawasi peraturan itu. Selanjutnya, dalam perjalanannya berkembang menjadi beberapa bentuk pemerintahan, sejarah mencatat banyak negara yang memiliki bentuk pemerintahan yang berbeda-beda karena hal tersebut berdasar kepada para penguasa negara tersebut. Dalam konteks ini  muncul bentuk pemerintahan sipil dan pemerintahan militer. Tentu saja kedua bentuk pemerintahan tersebut mempunyai karakteristik yang satu sama lain berbeda.

Hubungan Sipil-Militer adalah satu perkara yang amat penting bagi satu bangsa karena berpengaruh besar kepada ketahanan nasionalnya. Hal itu juga berlaku bagi bangsa Indonesia. Pengertian Hubungan Sipil-Militer semula tidak dikenal di Indonesia dan baru dipergunakan setelah pengaruh dunia Barat, khususnya yang berpandangan liberal, makin kuat. Mula-mula itupun terbatas pada kalangan terpelajar yang banyak berhubungan dengan ilmu sosial yang berasal dari dunia barat. Akan tetapi lambat laun pengertian itu menyebar di semua kalangan dan sekarang sudah menjadi pengertian yang diakui dan dipergunakan secara umum di Indonesia. Namun ada satu perbedaan yang menonjol dalam penggunaan pengertian itu antara mereka yang hidup dalam alam sosial barat dengan bangsa Indonesia yang menerima dan menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Di dunia Barat yang berpaham liberal Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti supremasi Sipil atas Militer, sedangkan di Republik Indonesia yang berhaluan Pancasila tidak dengan sendirinya Hubungan Sipil-Militer berarti supremasi sipil atas militer. Bahkan dengan memperhatikan bahwa Panca Sila menekankan faktor kekeluargaan dan kerukunan justru tidak ada supremasi satu golongan masyarakat atas yang lain, melainkan dalam kebersamaan memperjuangkan dan mengusahakan hal yang terbaik bagi bangsa, negara dan masyarakat.
Negara adalah sebuah istilah yang secara terminologi berarti organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.[1] Suatu Negara haruslah memiliki sedikitnya 3 unsur yang menjadikan Negara tersebut berdaulat di tengah-tengah negara lainnya. Mahfud M.D. menyebutkan 3 unsur penting tersebut sebagai unsur konstitutif.[2]  Unsur-unsur tersebut antara lain adalah : Rakyat, Wilayah, dan Pemerintah, ditambah dengan pengakuan dari Negara lain. Berbicara tentang bentuk pemerintahan, kita mesti faham terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan negara dan perbedaannya dengan pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan di awal, sejatinya negara adalah sebuah organisasi. Selayaknya organisasi, maka negara pun memiliki peraturan, selain itu negara juga memiliki sebuah badan yang berfungsi merumuskan, menjalankan dan mengawasi peraturan itu. Selanjutnya, dalam perjalanannya berkembang menjadi beberapa bentu pemerintahan, sejarah mencatat banyak negara yang memiliki bentuk pemerintahan yang berbeda-beda karena hal tersebut berdasar kepada para penguasa negara tersebut.
Dalam konteks ini muncul bentuk pemerintahan sipil dan pemerintahan militer. Tentu saja kedua bentuk pemerintahan tersebut mempunyai karakteristik yang satu sama lain berbeda. Hubungan Sipil-Militer adalah satu perkara yang amat penting bagi satu bangsa karena berpengaruh besar kepada ketahanan nasionalnya. Hal itu juga berlaku bagi bangsa Indonesia. Pengertian Hubungan Sipil-Militer semula tidak dikenal di Indonesia dan baru dipergunakan setelah pengaruh dunia Barat, khususnya yang berpandangan liberal, makin kuat. Mula-mula itupun terbatas pada kalangan terpelajar yang banyak berhubungan dengan ilmu sosial yang berasal dari dunia barat. Akan tetapi lambat laun pengertian itu menyebar di semua kalangan dan sekarang sudah menjadi pengertian yang diakui dan dipergunakan secara umum di Indonesia.
Namun ada satu perbedaan yang menonjol dalam penggunaan pengertian itu antara mereka yang hidup dalam alam sosial barat dengan bangsa Indonesia yang menerima dan menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Di dunia Barat yang berpaham liberal Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti supremasi Sipil atas Militer, sedangkan di Republik Indonesia yang berhaluan Pancasila tidak dengan sendirinya hubungan Sipil-Militer berarti supremasi sipil atas militer. Bahkan dengan memperhatikan bahwa Pancasila menekankan faktor kekeluargaan dan kerukunan justru tidak ada supremasi satu golongan masyarakat atas yang lain, melainkan dalam kebersamaan memperjuangkan dan mengusahakan hal yang terbaik bagi bangsa, negara dan masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Pemerintahan Sipil dan karakteristiknya ?
2.       Apa pengertian Pemerintahan Militer dan karakteristiknya ?
3.      Apa hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer di Indonesia ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Agar mengetahui pengertian Pemerintahan Sipil dan karakteristiknya.
2.      Agar mengetahui pengertian Pemerintahan Militer dan karakteristiknya.
3.      Agar mengetahui hubungan Pemerintahan Sipil dan Militer di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemerintahan Sipil


1.      Pengertian Pemerintahan Sipil

Menurut CF Strong dalam bukunya yang berjudul Modern Political Construction terbit tahun 1960 dikemukakan bahwa pemerintah itu dalam arti luas meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah juga bertugas memelihara perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus memiliki (1) kekuasaan militer, (2) kekuasaan legislatif, dan (3) kekuasaan keuangan.[3] Sedangkan menurut SE Filner dalam buku Comperative Gonverment (1974) istilah pemerintahan memiliki 4 arti yaitu: kegiatan atau proses memerintah, masalah-masalah kenegaraan, pejabat yang dibebani tugas untuk memerintah, cara, metode, atau sistem yang dipakai pemerintah untuk memerintah.[4] Adapun dalam melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk pemerintahan sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria gaya dan sifat memerintah sebuah pemerintah.
2.      Karakteristik Pemerintahan Sipil
Eric Nordlinger dalam bukunya “Militer dalam Politik” dikemukakan ada 3 bentuk pemerintahan sipil :
a.       Pemerintahan sipil Tradisional.
Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang serius diantara mereka. dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer.[5]
b.      Pemerintahan sipil Liberal
Model pemerintahan liberal didasarkan pada pemisahan para elit berkenaan keahlian dan tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Tapi sejalan Model liberal akan menutup kemungkinan militer untuk menekuni arena dan kegiatan politik. Didalam tindakan dan pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas pihak militer.[6]
c.       Pemerintahan sipil Serapan
Dalam sejarahnya, pemerintahan sipil ini banyak dianut oleh negara-negara barat, karena kebanyakan dari mereka berideologi liberal yang memunculkan supremasi sipil atas militer (civilian supremacy upon the military). Dalam kata lain militer adalah subordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis  melalui pemilihan umum. Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia yang berideologikan Pancasila, sipil dan militer adalah satu bagian, tidak ada supremasi di antara keduanya. Yang harus dimunculkan adalah bagaimana hubungan keduanya dapat menjamin kerukunan hidup rakyat Indonesia itu sendiri. Sehingga tercipta kebersamaan dalam memperjuangkan kepentingan bangsa. Dalam hal ini muncul karakteristik pemerintahan sipil yang berpijak atas hubungannya dengan militer, antara lain pemerintahan sipil adalah sebuah bentuk pemerintahan yang  bergaya sipil, semua keputusan pemerintah dapat menjadi perintah apabila telah dimusyawarahkan terlebih dahulu dan diambil keputusannya dalam suatu pemungutan suara (referendum). Dan telah mendapat pengesahan dari lembaga negara yang berwenang.[7]
B. Pemerintahan Militer
1. Pengertian Pemerintahan Militer
Perkataan Militer merupakan pengertian yang bersangkutan dengan kekuatan bersenjata. Secara kongkrit perkataan Sipil di Indonesia adalah seluruh masyarakat, sedangkan perkataan Militer berarti Tentara Nasional Indonesia, yaitu organisasi yang merupakan kekuatan bersenjata dan yang harus menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia. Karena Sipil berarti masyarakat, maka sebenarnya Militer pun bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu di Indonesia sebelum terpengaruh oleh pandangan Barat dipahami bahwa TNI adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Bahkan yang menjadi TNI adalah seluruh Rakyat yang sedang bertugas sebagai kekuatan bersenjata untuk membela Negara.[8]
Adapun yang dimaksud dengan pemerintahan militer adalah pemerintahan yang lebih mengutamakan kecepatan pengambilan keputusan, keputusan diambil oleh pucuk pimpinan tertinggi, sedang yang lainnya mengikuti keputusan itu sebagai perintah yang wajib diikuti — konsekuensi rantai komando dalam militer. Sebuah undang-undang dalam sebuah pemerintahan militer dibuat oleh pucuk pimpinan tertinggi, tanpa menyerahkan rancangannya kepada parlemen.[9]
2.      Karakteristik Pemerintahan Militer
Pemerintahan militer lebih merujuk ke arah gaya pemimpin suatu organisasi/ institusi/ negara. Dimana kepemimpinan itu sendiri memiliki hubungan  yang erat antara seorang dan sekelompok manusia, karena adanya kepentingan bersama; hubungan itu ditandai tingkah laku yang tertuju dan terbimbing daripada manusia yang seorang itu. Gaya kepemimpinan pemerintahan militer ini memiliki karakteristik, sebagaimana dikemukakan Ninik Widiyanti, adalah sebagai berikut:
Dalam pemerintahan militer, untuk menggerakkan bawahannya digunakan sistem perintah yang biasa digunakan dalam ketentaraan, gerak geriknya senantiasa tergantung kepada pangkat dan jabatannya senang akan formalitas yang berlebih-lebihan, menuntut disiplin keras dan kaku dari bawahannya, senang akan upacara-upacara untuk berbagai-bagai keadaan dan tidak menerima kritik dari bawahannya dan lain sebagainya.[10]
C.  Pemerintahan Sipin dan Militer di Indonesia
Menurut Jenderal Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalah hubungan sipil militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach, yaitu militer menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde baru; yang kedua, subjective civilian control, yaitu kontrol subyektif pemerintahan sipil terhadap militer seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari ABRI.[11] Lalu, apakah artinya dalam konteks hubungan sipil-militer di Indonesia? Dalam sejarah Indonesia, dikotomi sipil-militer bukanlah satu isu baru. Jika sejauh ini ABRI terkesan tidak suka dan selalu mengelak adanya dikotomi sipil-militer di Indonesia, sikap semacam itu tidak lepas dari penafsiran diri ABRI dalam konteks sejarah Indonesia. ABRI juga mudah curiga kepada cendekiawan, seniman, aktivis LSM dan kalangan intelektual lain yang memang selalu sangat antusias memperbincangkan hubungan sipil-militer, yang selalu melemparkan isu-isu demokratisasi, kebebasan berpendapat dan HAM.
Namun, benar juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas antara ranah politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak jelas. Antara perang dan politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang adalah jalan lain dari politik. Ini lah yang terjadi pada awal pembentukan Indonesia. Sejak awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden Soekarno.[12]
Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan  bahwa militer Indonesia telah berkembang menjadi militer profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar “semangat patriotisme” tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan kependidikan. Namun, hal ini tidak berarti militer kehilangan peran politiknya. Peran politik TNI, menurut saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya yaitu pertahanan-keamanan negara, dan hal itu kini bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Peran tersebut cukup diletakkan pada tataran “kebijakan” (policy) di tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep kekaryaan seperti pada masa Orde Baru. Dengan demikian, militer bukan lah institusi untuk merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model kekaryaan. Jika ada militer yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, maka harus melepas jaket hijau-lorengnya.
Mereka adalah warga sipil, sehingga jabatan politik yang didudukinya bukan dalam kerangka doktrin dwifungsi, tapi sebagai hak politik setiap warga negara. Fungsi pertahanan keamanan sebagai TNI professional itu juga menuntut TNI untuk hanya punya komitmen dan tangung jawab moral terhadap eksistensi. Dalam mengembangkan pendirian itu TNI harus selalu berpedoman pada Panca Sila dan Sapta Marga serta Sumpah Prajurit yang secara hakiki berarti bahwa TNI harus selalu memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.[13] Yang sekarang diperlukan adalah tekad untuk melaksanakan proses ini secara konsisten dan sabar serta memelihara hasilnya secara terus menerus. Hubungan Sipil-militer yang dihasilkan kemudian akan merupakan faktor positif dalam perwujudan Ketahanan nasional Indonesia, termasuk pembinaan daya saing nasional bangsa kita




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Pemerintahan Sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan pemerintahan militer adalah suatu pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa diktator yang mengandalkan gaya militer yang sarat dengan disiplin dan kental dengan ketentaraan. Hubungan antara Sipil dan Militer dalam sejarah lebih diungkapkan dalam bentuk ekstrim karena kegagalan pemerintahan sipil yang menyebabkan  ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi memerintah lebih baik dari pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya kedua hal tersebut tidak dapat berkembang sesuai dengan tujuan yang dimilikinya.

B.  Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentu pasti tidak terlepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan Makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh para pembaca. Oleh karena itu penulis makalah ini mengharap kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah ini terdapat kritik dan saran yang sifatnya membangun dalam terselesainya makalah yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
A. Ubaedillah dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup,2008)

Ibid

yafaruddin, Makalah KONSEP DAN METODOLOGI PERBANDINGAN PEMERINTAH

Diamond, Larry, Hubungan Sipil Militer & Konsolidasi Demokrasi, Jakarta: PT.Grafindo Jaya Persada, 2001
Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com-83- Pengantar Ilmu Negara dan Pemerintahan
Dra. Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Bina Aksara, Jakarta, 1988
E-book, Ikrar Nusa Bhakti, Hubungan Baru Sipil Militer
di ambil pada tgl 18 maret 2016 tepat pukul 10:21



[1] A. Ubaedillah dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Grup,2008) hal. 84

[2] Ibid, hal 85
[3] yafaruddin, Makalah KONSEP DAN METODOLOGI PERBANDINGAN PEMERINTAH

[4] Ibid, hal 6
[5] Eric Nordlinger, Militer dalam Politik ( Jakarta : Rineka Cipta 1994) hal 18-19

[6] Ibid, hal 20-21
[7] Diamond, Larry, Hubungan Sipil Militer & Konsolidasi Demokrasi, Jakarta: PT.Grafindo Jaya Persada, 2001. Hal 44
[9]  Makalah/Training Islam Intensif/ empiris-homepage.blogspot.com-83- Pengantar Ilmu Negara dan PemerintahanS
[10]  Dra. Ninik Widiyanti, YW. Sunindhia,SH., Kepemimpinan dalam Masyarakat Modern, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 8-9
[11] E-book, Ikrar Nusa Bhakti, Hubungan Baru Sipil Militer, hal 9
[13] Ibid, hal 85

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Motivasi Berprestasi

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mangandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. [1] McClelland [2] menekankan pentingnya kebutuhan berprestasi, karena orang yang berhasil dalam bisnis dan industri adalah orang yang berhasil menyelesaikan segala sesuatu. Ia menandai tiga motivasi utama, yaitu: penggabungan, kekuatan dan prestasi. Motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau kebutuhan dalam diri seseorang untuk mencapai hasil terbaik. Motivasi berprestasi juga dapat diartikan sebagai kebutuhan untuk menguasai hal-hal yang ...

MAKALAH PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TEORI JULIAN ROTTER

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Teori belajar kognitif sosial dari Julian Rotter dan Walter Mischel, masing-masing berlandaskan asumsi bahwa faktor kognitif membantu membentuk bagaimana manusia akan bereaksi terhadap dorongan dari lingkungannya. Kedua pakar teori tersebut menolak penjelasan Skinner yang menyatakan bahwa perilaku terbentuk oleh penguatan langsung, malah mereka menyebutkan bahwa ekspektasi seseorang atas kejadian yang akan datang adalah determinan utama dari perilaku. Rotter beragumen bahwa perilaku manusia paling dapat diprediksikan melalui pemahaman dari interaksi antara manusia dan lingkungan yang berarti untuk mereka. Sebagai interaksionis, Rotter yakin bahwa tidak ada satu pun individu ataupun lingkungan itu sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab atas perilaku. Malah, ia beragumen bahwa kondisi manusia, sejarah masa lalu dan ekspektasi terhadap masa depan adalah kunci utama untuk memprekdisikan perilaku. Dalam hal ini, ia ber...

MAKALAH KEPRIBADIAN DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “psikologi” yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tigapengertian. Pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa ( psyche ), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesa...