BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Teori
belajar kognitif sosial dari Julian Rotter dan Walter Mischel, masing-masing
berlandaskan asumsi bahwa faktor kognitif
membantu membentuk bagaimana manusia akan bereaksi terhadap dorongan dari
lingkungannya. Kedua pakar teori tersebut menolak penjelasan Skinner yang
menyatakan bahwa perilaku terbentuk oleh penguatan langsung, malah mereka
menyebutkan bahwa ekspektasi seseorang
atas kejadian yang akan datang adalah determinan utama dari perilaku.
Rotter
beragumen bahwa perilaku manusia paling dapat diprediksikan melalui pemahaman
dari interaksi antara manusia dan
lingkungan yang berarti untuk mereka. Sebagai interaksionis, Rotter yakin bahwa
tidak ada satu pun individu ataupun lingkungan itu sendiri yang sepenuhnya
bertanggung jawab atas perilaku. Malah, ia beragumen bahwa kondisi manusia,
sejarah masa lalu dan ekspektasi terhadap masa depan adalah kunci utama untuk
memprekdisikan perilaku. Dalam hal ini, ia berbeda dengan Skinner yang
menyakini bahwa penguatan pada dasarnya berasal dari lingkungan.[1]
B.
Rumusan
Masalah
1. Seperti
apa Biografi dari Julian Rotter?
2. Bagaimana
Teori Belajar Sosial Julian Rotter?
3. Bagaimana
perilaku manusia menurut
Julian Rotter?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui Biografi dari Julian Rotter.
2. Untuk
mengetahui Teori Belajar Sosial Julian Rotter.
3. Untuk mengetahui perilaku manusia menurut Julian Rotter.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Julian Rutter
Julian
B. Rotter, pencipta dari skala locus of control, dilahirkan di Brooklyn pada 22
Oktober 1916, sebagai anak ketiga dan anak laki-laki pertama dari pasangan
orang tua imigran Yunani. Rotter mengingat bahwa ia sangat sesuai dengan
deskripsi dari Adler mengenai anak paling kecil yang sangat kompetitif dan
selalu “berjuang”. Walaupun orang tuanya menjalankan agama dan budaya Yunani,
mereka tidak terlalu religius. Rotter mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi
keluarganya sebagai, “kelas menengah yang cukup nyaman sampai pada Depresi
Besar, saat ayahku kehilangan bisnis alat tulis grosirannya dan kami menjadi
bagian dari masa pengangguran selama dua tahun”. Depresi ekonomi ini cukup mencetuskan minat seumur
hidup Rotter atas ketidakadilan sosial dan mengajarkannya tentang seberapa
penting kondisi situasional memengaruhi perilaku sosial.
Sebagian
murid sekolah dasar dan menengah, Rotter adalah seorang pembaca yang antusias
dan pada tahun ketika junior di sekolah menengah atas, ia telah membaca hampir
semua buku fiksi yang ada di perpustakaan umum lokal. Oleh karena itu, suatu
hari ia kemudian berpaling pada rak buku psikologi tempatnya menemukan buku Understanding Human Nature oleh Adler
(1927), Psychopathology of Everyday Life oleh
Freud (1901/1960) dan The Human Mind
oleh Karl Menninger (1920). Ia sangat kagum terutama kepada Adler dan Freud dan
segera kembali lagi ke perpustakaan untuk mengetahui lebih banyak.
Saat
memasuki Brooklyn College, ia sudah sangat tertarik pada psikologi, namun ia
memilih untuk mengambil jurusan kimia karena terlihat lebih menjanjikan dalam
memberikan pekerjaan selama masa depresi di tahun 1930-an. Sebagai junior di
Brooklyn College, ia mendapatkan informasi bahwa Adler adalah seorang profesor
dalam psikologi medis di Long Island College of Medicine. Ia kemudian menghadiri
kuliah medis Adler dan beberapa demonstrasi klinisnya. Pada akhirnya, ia
mengenal Adler secara personal, yang mengundangnya untuk menghadiri
pertemuan-pertemuan dalam Society for Individual Psychology.
Saat
Rotter lulus dari Brooklyn College pada tahun 1937, ia mempunyai lebih banyak
kredit nilai di bidang Psikologi dari pada di bidang kimia. Ia kemudian memasuki
program pasca sarjana psikologi di
University of lowa, tempatnya menerima gelar master pada tahun 1938. Rotter
menyelesaikan ikatan kerjasamanya dalam bidang psikologi klinis di Worcester
State Hospital di Massachusett tempatnya ia bertemu dengan calon istrinya,
Clara Barnes. Pada tahun 1941, Rotter menerima gelar Ph.D. di bidang Psikologi
klinis dari Indian University.
Pada
tahun yang sama, Rotter menerima posisi sebagai psikologi klinis di Norwich
State Hospitl di Clonnecticut, yang tugasnya termasuk memberikan pelatihan pada
asisten dan murid magang dari University of Connecticut dan Wesleyan University.
Di awwal Perang Dunia II, ia ditarik masuk militer dan menghabiskan lebih dari
3 tahun sebagai psikologi militer.
Setelah
perang, Rotter kembali sebentar ke Norwich, namun ia kemudian mengambil
pekerjaan di Ohio State University, tempat ia menarik sejumlah mahasiswa pasca
sarjana yang luar biasa, termasuk Walter Mischel. Selama 12 tahun, Rotter dan
George Kelly berjaya sebagai dua anggota paling kuat di departemen psikologi di
Ohio State. Akan tetapi, Rotter tidak begitu senang dengan dampak politik dari
Mc Carthvism di Ohio dan pada tahun 1963, ia mengambil posisi di University of
Connecticut sebagai direktur dalam Chinical Training Program. Ia terus berada
dalam posisi tersebut sampai tahun 1987, saat ia pensiun dan menjadi profesor
emeritus. Rotter dan istrinya, Clara (yang meninggal pada tahun 1986) mempunyai
dua oranga anak. Seorang anak permpuan bernama Jean dan seorang anak laki-laki
yang bernama Richard. Dan Rotter meninggal pada tahun 1995.
Di
antara publikasi Rotter yang paling penting adalah Social Learning and Clinical Psychology (1954), Chinical Psycology (1964), Application of a Social Learning Theory of
Personality dengan J.E. Chance dan E.J. Phares (1972), Personality dengan D.J. Hochreich (1975), The Development and Application of Social Learning Theory: Selected
Papers (1982), Rotter Incomplete
Sentence Blank (Rotter 1966) dan Interpersonal
Trust Scale (Rotter 1967).
Rotter
bertugas sebagai ketua Eastern Psycological Association dan pada divisi Social
and Personality Psychology dan Clinical Psycology dari American Psycology
Associaation (APA). Ia bertugas selama dua tahun di APA Education and Training
Board. Pada tahun 1988, ia menerima penghargaan bergengsi APA Distinguished
Contribution Award. Pada tahun berikutnya, ia menerima Distinguished
Contribution to Clinical Training Award dari Council of University Disrectors
of Clinical Psycology.[2]
B.
Teori
Belajar Sosial Rotter
Teori belajar sosial
berdasarkan lima hipotesis dasar, yaitu:
1. Teori
belajar sosial berasumsi bahwa manusia berinteraksi dengan lingkungan yang
berarti untuknya. Reaksi manusia terhadap stimulasi lingkungan bergantung pada
arti atau kepentingan yang mereka kaitkan dengan suatu kejadian. Penguatan
tidak tergantung pada stimulus eksternal, tetapi pada arti yang diberikan oleh
kapasitas kognitif dari manusia. Demikian pula, karakteristik personal seperti
kebutuhan atau sifat, apabila hanya berdiri sendiri, tidak dapat menyebabkan
suatu perilaku. Malah, Rotter yakin bahwa perilaku manusia berasal dari
interaksi antara lingkungan dengan faktor personal.
2. Bahwa
kepribadian manusia bersifat dipelajari. Dengan demikian, kepribadian tidak
diatur atau ditentukan berdasarkan suatu usia perkembangan tertentu, melainkan
dapat diubah atau dimodifikasi selama manusia mampu untuk belajar. Walaupun
akumulasi dari pengalaman terdahulu memberikan kepribadian kita suatu
stabilitas, kita akan selalu responsif terhadap perubahan melalui pengalaman
baru. Kita belajar dari pengalaman masa lalu, tetapi pengalaman tersebut tidak
sepenuhnya konstan, yang diwarnai oleh perubahan yang masuk sehingga
mempengaruhi persepsi saat ini.
3. Teori
belajar sosial adalah bahwa kepribadian mempunyai kesatuan mendasar, yang
berarti kepribadian manusia mempunyaistabilan yang relatif. Manusia belajar
untuk mengevaluasi pengalaman baru atas dasar penguatan terdahulu. Evaluasi
yang relatif konsisten ini akan membawa pada stabilitas yang lebih besar dan
kesatuan dari kepribadian.
4. Bahwa
motivasi terarah berdasarkan tujuan. Rotter menolak pandangan bahwa manusia
pada dasarnya termotivasi untuk menurunkan kategangan atau mencari kesenangan,
ia bersikeras bahwa perilaku mereka akan mengembangkan mereka ke arah suatu
tujuan. Sebagai contoh, kebanyakan mahasiswa mempunyai tijuan untuk lulus serta
sanggup untuk bertahan melewati stres, ketegangan dan kerja keras untuk
mencapai tujuan tersebut. Daripada menurunkan ketegangan, prospek atas adanya
beberapa tahun yang sulit menjalani kuliah menjanjikan bahwa ketegangan akan
meningkat. Dalam kondisi ketika hal-hal lainnya sama, manusia paling merasa
diberikan penguatan oleh perilaku yang menggerakkan mereka ke arah suatu tujuan
yang telah mereka antisipasi. Pernyataan ini merujuk pada hukum efek empiris, yang “mendefinisikan penguatan sebagai
tindakan, kondisi atau kejadian apa pun yang mempengaruhi pergerakan manusia
menuju sauatu tujuan.”
5. Bahwa
manusia mampu untuk mengantisipasi kejadian. Di samping itu, mereka menggunakan persepsi atas dasar pergerakan ke
arah yang diantisipasi sebagai kriteria untuk mengevaluasi penguatan.
Memulai
dengan lima asumsi umum ini, Rotter kemudian membangun teori kepribadian
yang berusaha memprediksikan perilaku manusia.[3]
C.
Perilaku
Manusia menurut Julian Rotter
1.
Memprediksi perilaku spesifik
Perhatian
Rotter adalah prediksi perilaku manusia. Ia mengajukan empat variabel yang harus dianalisis untuk membuat
prediksi yang akurat dalam suatu situasi yang spesifik. Variabel-variabel ini
adalah potensi perilaku, ekspektasi, nilai penguatan dan situasi psikologis.
a. Potensi
Perilaku
Apabila
diperhitungkan secara luas, potensi perilaku adalah kemungkinan bahwa suatu
respons tertentu akan terjadi pada suatu waktu dan tempat. Beberapa potensi
perilaku dengan berbagai kekuatan berada dalam situasi psikologis apa pun.
Sebagai contoh, saat Noto berjalan menuju sebuah restoran, ia mempunyai
beberapa potensi perilaku. Ia mungkin akan berjalan melewatinya tanpa memperhatikan restoran tersebut,
secara aktif tidak menghiraukannya, berhenti di restoran tersebut untuk makan,
berfikir untuk berhenti di restoran tersebut untuk makan, tetapi kemudian terus
berjalan, memperhatikan bangunan dan isinya dengan suatu perhitungan untuk
membelinya, atau berhenti, masuk ke dalam dan merampok kasirnya. Bagi Noto
dalam situasi ini, potensi dari beberapa perilaku ini mungkin mendekati nol,
beberapa menjadi sangat memungkinkan dan yang lainnya akan berada diantara
kedua titik ekstrem.
Potensi
perilaku dalam
situasi apa pun adalah suatu fungsi dari ekspektasi dan nilai penguatan. Sebagai
contoh, apabila seseorang berharap untuk mengetahui kemungkinan bahwa Noto akan
merampok kasir daripada membeli restoran atau berhenti untuk makan, kita dapat
mengasumsikan bahwa ekspektasi bersifat konstan dan nilai penguatan berv bariasi. Apabila salah satu dari
potensi perilaku ini membawa 70% ekspektasi untuk diberikan penguatan, maka
seseorang dapat membuat prediksi mengenai kemungkinan relatif dari kejadian yang didasari
hanya dari nilai penguatan masing-masing perilaku. Apabila menodong kasir
membawa penguatan positif lebih besar daripada memesan makanan atau membeli
restoran tersebut, maka perilaku tersebut memiliki potensi untuk terjadi paling
besar.
b. Ekspektasi
Ekspektasi merujuk pada ekspektasi
seseorang bahwa suatu penguatan spesifik atau seperangkat penguatan akan
terjadi dalam suatu situasi. Probabilitas tidak ditentukan oleh sejarah
individu dengan penguatan, seperti yang diajukan oleh Skinner, tetapi
ditentukan secara subyektif oleh maing-masing orang. Sejarah, tentu saja,
adalah suatu faktor yang berkontribusi, tetapi begitu pula dengan pikiran tidak
realistis, ekspektasi yang berdasarkan kurangnya informasi dan fantasi, selama
orang tersebut benar-benar menyakini bahwa penguatan atau sepakat penguatan
yang diberikan akan mengikuti suatu respons tertentu.
Ekspektasi dapat bersifat umum ataupun
spesifik. Ekspektasi umum dipelajari melalui pengalaman terdahulu dari suatu
respons tertentu atau respons yang mirip dan didasari oleh keyakinan bahwa
suatu perilaku tertentu akan diikuti oleh penguatan positif. Sebagai contoh,
mahasiswa yang sebelumnya bekerja keras, telah mendapatkan penguatan dari nilai
yang tinggi dan akan mempunyai ekspektasi umum mengenai penghargaan di masa
depan dan bekerja keras dalam berbagai situasi akademis.
c. Nilai
Penguatan
Nilai penguatan yaitu
kecenderungan pilihan yang dijatuhkan seseorang pada suatu penguatan tertentu
saat probabilitas
terjadinya penguatan yang berbeda-beda setara.
Manusia berorientasi
pada tujuan, mereka mengantisipasi untuk dapat meraih suatu tujuan apabila
bertindak dalam suatu bentuk. Dengan asumsi bahwa semua hal lain setara, tujuan
dengan nilai penguatan yang paling tinggi akan menjadi yang paling diinginkan.
Akan tetapi, keinginan sendiri tidak cukup untuk memprediksikan perilaku.
Potensi dari perilaku tertentu adalah sebuah fungsi dari ekspektasi dan nilai
penguatan dan juga situasi psikologis.
d. Situasi
Psikologis.
Situasi psikologis didefinisikan sebagai
bagian dari dunia internal yang direspons oleh manusia. Situasi psikologis
tidak sama dengan stimulus eksternal walaupun peristiwa fisik biasanya penting
bagi situasi psikologis.
Perilaku bukanlah hasil dari kejadian di dalam lingkungan ataupun sifat pribadi,
melainkan berasal dari interaksi antara manusia dengan lingkungan yang berarti
untuknya. Apabila stimulus fisik sendiri menentukan perilaku, maka dua individu
akan beraksi dalam cara yang sama terhadap stimulasi yang identik. Apabila
sifat pribadi adalah satu-satunya yang bertanggung jawab atas perilaku, maka
seseorang akan selalu
berinteraksi dalam bentuk yang konsisten dan berkarakteristik walaupun dalam
peristiwa yang berbeda. Oleh karena itu tidak satu pun dari kedua kondisi ini
valid, sesuatu selain lingkungan dan
sifat pribadi harus menjadi yang membentuk perilaku. Teori belajar sosial
Rotter memberikan hipotesis bahwa interaksi antara manusia dan lingkungan
adalah faktor penting dalam membentuk perilaku.
Situasi psikologis adalah “kumpulan yang
kompleks dari tanda-tanda yang saling berinterksi, yang beroperasi pada
seseorang dalam bentuk periode waktu spesifik.” Manusia tidak berperilaku di
dalam suatu ruang vakum, tetapi bereaksi terhadap tanda-tanda lingkungan yang
mereka persepsikan. Tanda-tanda ini mungkin
berfungsi untuk menentukan suatu
ekspektasi tertentu mengenai rangkaian perilaku-penguatan dan juga untuk
rangkaian penguatan-peguatan. Periode waktu untuk tanda-tanda tersebut dapat
bervariasi dari sebentar hingga cukup lama; sehingga situasi psikologi tidak
dibatasi oleh waktu.
2. Komponen
kebutuhan
Kebutuhan
kompleks mempunyai tiga komponen penting, potensi kebutuhan; kebebasan bergerak;
nilai kebutuhan, yang hampir serupa dengan konsep yang lebih spesifik dari
potensi perilaku, ekspektasi, dan nilai penguatan.
a.
Potensi
kebutuhan (Need Potential-NP) merujuk
pada kemungkinan terjadinya seperangkat perilaku yang berhubungan secara
fungsional, yang terarah untuk memenuhi tujuan yang sama atau serupa. Potensi
kebutuhan hampir serupa dengan konsep yang lebih spesifik dari potensi
perilaku. Perbedaan dari keduanya terdapat pada potensi kebutuhan yang merujuk
pada sekelompok perilaku yang berhubungan secara fungsional, sementara potensi
perilaku adalah kemungkinan suatu perilaku tertentu untuk terjadi dalam suatu
situasi, dalam hubungannya dengan suatu penguatan yang spesifik.
b.
Kebebasan
bergerak, perilaku ditentukan sebagian oleh ekspektasi kita; yaitu perkiraan
terbaik kita bahwa penguatan tertentu akan mengikuti suatu respons spesifik.
Dalam rumusan prediksi umum, kebebasan
bergerak (freedom of movement—FM)
hampir serupa dengan ekspektasi. Kebebasan bergerak adalah ekspektasi
keseluruhan untuk diberikan penguatan
yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan perilaku yang diarahkan untuk
memuaskan beberapa kebutuhan umum. Rata-rata tingkatkan dari ekspektasi bahwa
perilaku-perilaku tersebut akan mengarah pada kepuasan yang diinginkan, adalah
ukuran dari kebebasannya untuk bergerak di area dominansi.
c.
Nilai
kebutuhan, nilai kebutuhan (Need values—NV)
seseorang adalah sejauh mana ia memilih seperangkat penguatan daripada yang
lainnya. Rotter, Chance, dan Phres (1972) mendefinisikan nilai kebutuhan
sebagai “rata-rata nilai preferensi dari seperangkat penguatan yang berhubungan
secara fungsional”. Dalam rumusan prediksi umum, nilai kebutuhan hampir serupa
dengan nilai penguatan.
3. Kategori
kebutuhan menurut Rotter
Rotter
mengajukan enam kategori kehidupan, antara lain :
a.
Pengakuan-status
(kebutuhan untuk sukses, terlihat kompeten dan memiliki kedudukan sosial yang
positif)
b.
Dominasi
(kebutuhan untuk mengatur orang lain, memiliki kekuasaan dan pengaruh)
c.
Kebebasan
(kebutuhan untuk membuat keputusan untuk dirinya sendiri)
d.
Proteksi-dependensi
(kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan dari orang lain dan mendapatkan
bantuan untuk mencapai tujuan)
e.
Cinta
dan afeksi (kebutuhan untuk disukai dan dijaga oleh orang lain)
f.
Kenyamanan
fisik (kebutuhan untuk tidak merasakan sakit, mencari kesenangan, merasa aman
secara fisik, dan merasa nyaman secara psikologis).
4.
Gambaran Rotter mengenai sifat manusia
Rotter menekankan
bahwa sebagian besar perilaku kita dipelajari. Dia memberikan sedikit tambahan
untuk faktor genetik. Hal ini terutama pada pengasuhan dan bukan sifat yang
mengarahkan pengalaman kita, bukan warisan atau keturunan.
Meskipun Rotter
melihat bahwa mempelajari pengalaman pada masa kecil adalah sangat penting,
tetapi dia tidak percaya bahwa pengalaman-pengalaman itu menentukan cara kita
ketika kita harus berperilaku untuk menopang hidup kita. Kepribadian selalu
berubah dan berkembang, tidak ditetapkan oleh pola-pola yang dibuat pada masa
kecil. Pengalaman pada pembelajaran pertama kali memiliki dampak
pada cara kita mempersepsi pengalaman saat ini, tetapi kita tidak menjadi
korban masa lalu kita. Kita bereaksi secara terus menerus pada lingkunagn internal
dan eksternal kita. Jika lingkungan ini berubah, begitu juga persepsi kita
terhadapnya.
Posisi Rotter
pada pertanyaan mengenai keunikan melawan keseluruhan perilaku direfleksikan
dalam kosepnya mengenai situasi psikologis. Masing-masing
dari kita mengembangkan pandangan yang unik mengenai dunia, menginterpretasikan
dan mereaksi stimulus eksternal dalam pola persepsi kita terhadap dunia. Ini
memahami bahwa masing-masing dari kita hidup dan berfungsi dalam situasi
psikologis yang berbeda.
Rotter tidak
membahas tentang beberapa tujuan akhir dan keperluan kehidupan seperti
aktualisasi diri, tetapi memusatkan penuh kekuatannya bahwa semua perilaku kita
merupakan tujuan yang diarahkan. Daripada terbawa oleh beberapa keinginan yang
ingin dicapai, atau malah terdorong untuk keluar seperti kondisi-kondisi
kecemasan atau perasaan rendah, kita secara tetap diarahkan untuk mencapai
tujuan individu. Kita didorong untuk memaksimalkan reinforcement dan
meminimalkan punishment, dan pada setiap saat kita membuat keputusan dengan
sadar tentang bagaimana sebaiknya kita mencapai tujuan-tujuan ini.
Sistem Rotter
nampaknya menawarkan pandangan-pandangan yang optimis mengenai sifat-sifat
manusia. Kita bukanlah korban-korban yang pasif dari kejadian-kejadian diluar
diri kita, keturunan, atau dari pengalaman masa lalu. Kita bebas untuk
membentuk dengan baik tidak hanya perilaku kita saat ini, tetapi juga masa
depan kita.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
[1] Jess
Freist.Gregory J.Frist, Teori Kepribadian
Theories of Personality, Salemba Humanika: Jakarta, 2009, hal. 240-241
[2] Jess
Freist.Gregory J.Frist, Teori Kepribadian
Theories of Personality, Salemba Humanika: Jakarta, 2009, hal. 241-242
[3] Jess
Freist.Gregory J.Frist, Teori Kepribadian
Theories of Personality, Salemba Humanika: Jakarta, 2009, hal. 242-243
Komentar
Posting Komentar